RELEVANSI IMLEK DENGAN IMAN KRISTEN.

Tanggal 10 Februari 2013 merupakan tahun baru Tionghoa, yang populer di sebut hari raya Imlek. Saudara kita dari etnis Tionghoa, khususnya para pemeluk agama Kong Hu Chu di Indonesia, akan menyambut dan merayakan dengan penuh khidmat. Mungkin seperti tahun-tahun sebelumnya di mana hari raya Imlek kurang begitu semarak diperingati karena faktor banjir, ragam bencana dan krisis ekonomi yang tengah melanda, namun makna dan nilai khidmatnya pastinya tidak akan pernah berkurang. Di kala almarhum Abdurrahman Wachid yang kerap disapa Gus Dur menjabat sebagai Presiden Indonesia yang keempat, maka agama Kong Hu Chu diakui dan disahkan keberadaannya di Indonesia. Perayaan hari raya Imlek akhirnya dapat diperingati oleh para pemeluknya secara leluasa. Atribut-atribut budaya Tionghoa juga mendapat “angin segar” untuk diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia. Hal ini sangatlah berbeda dengan era sebelumnya di mana peringatannya dilakukan secara tertutup, bahkan nyaris tak terdengar gaungnya. Melalui pembahasan ini, saya hendak mengajak kita semua untuk melihat relevansi hari raya Imlek dengan iman kepercayaan Kristiani. Tiga simbol Imlek yang fenomenal tentunya sangat perlu untuk kita hayati karena memiliki kandungan makna yang luar biasa. Bukankah ada pernyataan, “untuk menjadi bijak perlu belajar sampai ke dataran China.” Tetapi bila anda tidak memiliki uang yang cukup untuk pergi belajar ke daratan China, semoga catatan saya ini dapat membantu anda untuk menemukan sebagian dari kedahsyatan maknanya. 1. LILIN. Perayaan Imlek selalu berhubungan dengan lilin. Setiap umat Kong Hu Chu akan membawa lilin dan membakarnya untuk diletakkan di meja altar di rumah ibadat yang lazim disebut sebagai Klenteng. Lilin memiliki peran penting dalam ritual agama Kong Hu Chu, khususnya dalam ibadah hari raya Imlek. Lilin menjadi simbol atau lambang dari terang. Lilin menjadi sakral karena dianggap memiliki nilai religious. Bila semakin besar lilin yang dibawa maka akan memberi dampak terang yang kian besar, baik bagi yang membawanya maupun bagi orang sekitar di mana ia berada. Lilin adalah gambaran dari keberadaan manusia. Dalam perayaan Natal lilin dipakai sebagai kiasan agar umat Kristen menjadi terang untuk menerangi dunia yang penuh kegelapan. Lilin akan berfaedah bila ia dapat memancarkan terang. Bila lilin tidak dibakar maka lilin itu pastilah berada di tempat tak terlihat, seperti di dalam laci atau di atas lemari. Tetapi bila lilin memancarkan terang maka lilin itu akan diletakkan di suatu tempat tertentu agar cahaya terangnya dapat dipantulkan ke berbagai penjuru. Manusia selalu membutuhkan terang sebab sangat sulit bagi manusia untuk hidup dalam kegelapan. Terang itu memang menyenangkan (band. Pengkotbah 11:7) karena terang akan bercahaya dalam kegelapan (Yoh. 1:5). Yang perlu dipertanyaan adalah, siapakah sesungguhnya terang yang sejati itu? Dapatkan lilin memancarkan terang bila ia tidak disatukan terlebih dahulu dengan api atau sumber terang? Alkitab berkata bahwa Yesus Kristus adalah terang dunia (Yoh. 8:12; 9:5; 1 Yoh. 1:5). Ia datang sebagai terang (Yoh. 12:46) agar mata hati manusia menjadi terang (Ef. 1:18). Ironisnya banyak manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang (Yoh. 3:19). Karena itulah, Yesus memerintahkan agar umat-Nya menjadi sesuatu yang sebenarnya merupakan hakekat Yesus sendiri, yaitu terang dunia. Lalu bagaimana manusia dapat melihat terang itu? Pertama kali, Tuhan yang adalah terang dunia itu datang ke dunia. Selanjutnya memanggil manusia kepada terang-Nya yang ajaib (band. 1 Ptr. 1:9). Karena terang itu telah ada maka manusia berpotensi untuk mengarahkan diri dan menerima terang itu (band. Ibr. 10:32). Sesudah manusia menerima terang itu maka berubahlah statusnya menjadi anak-anak terang yang akan menerangi dunia ini (1 Tes. 5:5; Mat. 5:14). Mereka wajib bersaksi bagi dunia tentang terang itu (Yoh 1:7). Serta wajib pula membagikan terang yang ada padanya bagi dunia yang diliputi oleh kegelapan. Secara akurat, rasul Paulus mencatat akan hal ini. Posisi atau status umat Kriatiani adalah sebagai anak-anak terang dan panggilannya adalah untuk menerangi dunia. “memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran, dan ujilah apa yang paling berkenan kepada Tuhan” (Ef. 5:8-10). Secara tidak langsung Imlek juga mengingatkan umat Kristen akan posisi dan panggilannya untuk menerangi dunia ini. 2. ANGPAO. Hal kedua yang menjadi “atribut” dalam perayaan hari raya Imlek adalah angpao. Angpao adalah amplop kecil berwarna merah yang berisi uang untuk dibagikan kepada keluarga, sanak saudara dan handai taulan saat hari raya Imlek tiba. Angpao adalah lambang pemberian yang wajib diberikan kepada siapa yang pantas untuk menerimanya. Besar jumlah uang yang dimasukkan ke dalam angpao tidak ditentukan secara spesifik. Yang ditekankan adalah kewajiban untuk memberi angpao dengan kerelaan hati. Walaupun tidak ada ketentuan secara khusus, besarnya isi dalam ampao biasanya berhubungan dengan tingkatan sosial ekonomi. Yang lebih berada “cenglie”-nya atau seyogyanya memasukkan uang ke dalam angpao lebih besar, dibandingkan yang kurang berada. Selanjutnya angpao ditaruh di pohon angpao yang sudah dipersiapkan sebelum hari raya Imlek. Sang pemilik rumah akan mengambil angpao yang tergantung di pohon angpao mereka bila ada tamu yang mengunjungi rumahnya. Bagi yang sudah berumah tangga maka wajib untuk memberi angpao, tetapi tidak bersifat wajib bagi yang belum berumah tangga. Dua ribu tahun yang lalu, TUHAN Allah atau Bapa Yahweh telah memberi Anak-Nya yang tunggal kepada manusia berdosa agar mereka tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16). Yesus Kristus adalah pemberian yang terbaik atau “angpao” dari Tuhan kepada kita. Pemberian itu jauh melebihi pemberian yang baik dari seorang bapak manusia kepada anak-anaknya (band. Mat. 7:11). Pemberian itu bukanlah hasil usaha manusia, melainkan pemberian Allah semata (Ef. 2:8) “Setiap yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diteruskan dari Bapa…” (Yak. 1:17). Karena Bapa sudah memberikan yang terbaik bagi manusia maka seyogyanya kita sebagai umat-Nya pun berlaku hal yang sama. Acap kali Yesus Kristus mengajarkan prinsip keluhuran dalam memberi setelah Ia menunjukkan bagaimana penerapan yang sesungguhnya dalam memberi (band. Mat. 6:1-4; 22:21; Kis. 20:35). Sekali lagi, hari raya Imlek mengingatkan kita tentang nilai keluhuran hidup, yakni: lebih baik memberi dari pada menerima (Kis. 20:35). 3. WARNA MERAH. Hal selanjutnya yang identik dengan perayaan Imlek adalah warna merah. Pemeluk Agama Kong Hu Chu bila merayakan Imlek acap kali mengenakan busana berwarna merah. Atribut-atribut lainnya juga tidak terlepas dari warna merah, seperti: lilin berwarna merah, angpao merah, lampion merah, bahkan rumah ibadat klenteng selalu dicat dengan warna merah. Merah diyakini sebagai lambang kebahagiaan. Dengan menjadikan merah maka umat Kong Hu Chu menyakini akan mendatangkan kebahagiaan. Tidak pungkiri bahwa semua manusia yang hidup di dunia ini ingin beroleh kebahagiaan. Bahkan terkadang manusia rela mengupayakan berbagai cara untuk mendapatkan kebahagiaan. Tetapi di manakah sesungguhnya kebahagiaan itu adanya? Dan apakah kebahagiaan itu yang sesungguhnya? Seringnya perihal kebahagiaan itu dipertanyakan oleh umat manusia, sehingga Yesus pun menjadikan topik bahasan dalam kotbah-Nya yang pertama (band. Mat. 5:1-12). Suatu kali Tuhan pernah berperkara kepada umat-Nya dengan berkata “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba akan menjadi putih seperti bulu domba (lihat Yes. 1:18). Artinya, keberadaan manusia berdosa agar menjadi putih dan suci hanya semata oleh tindakan Allah. Kenapa untuk menjadi putih dan suci harus didasari oleh tindakan Allah? Kenapa musti Allah yang melakukannya? Karena manusia berdosa tidak akan mungkin dapat menyucikan dosanya yang merah itu menjadi bersih, putih dan suci dengan caranya sendiri. Tanpa penyucian dari Allah sampai kapanpun manusia berdosa tidak akan pernah mampu melepaskan diri dari belenggu dosa. Karena belenggu dosa sudah dipatahkan di kayu salib maka setiap orang yang percaya kepada-Nya memiliki potensi untuk tidak hidup dalam dosa. Bukan pula berarti tidak lagi dapat berbuat dosa. Teringat warna merah pastilah teringat akan darah. Walaupun ada yang menyebut dirinya berdarah biru, tetap saja darahnya berwarna merah. Alkitab berkata bahwa “darah” ialah kehidupan dan kehidupan itu adalah milik Tuhan. Nyawa mahluk ada di dalam darahnya (band. Im.17:11-14). Sementara ungkapan “darah dan daging” menunjuk manusia dalam keadaan duniawinya (band. 1 Kor. 15:50; Ef. 6:12; Ibr. 2:14). Dosa mengakibatkan semua manusia kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23), sekaligus kehilangan nyawa, yaitu maut (Rm. 6:23). Ada tiga kematian yang terjadi akibat dari dosa yang diperbuat oleh manusia. Pertama, kematian rohani. Akibat kematian rohani maka manusia terpisah dengan Allah. Kedua, kematian jasmani. Tidak seorang pun manusia terlepas dari kematian jasmani, walaupun ia ingin hidup dan mengupayakan hidup seribu tahun lagi. Ketiga adalah kematian kekal. Orang berdosa yang tidak percaya dan menolak Yesus Kristus sebagai Juru selamatnya pribadi akan mengalami kematian kekal selama-lamanya di neraka. Tetapi bila ia percaya maka akan diselamatkan dan beroleh hidup yang kekal di surga. Lalu, bagaimana agar manusia yang telah mengalami kematian itu beroleh hidup yang kekal? Jawabannya sangatlah sederhana, tetapi manusia sering mempersoalkannya. Manusia berdosa harus menerima penebusan melalui darah yang suci (Ef. 1:7; Rm.3:25; 5:9; 1Yoh. 1:17). Merah dan sucinya darah Anak domba yang tertumpah di kayu salib itulah yang menjadi “darah perjanjian.” Tidak ada pendamaian sejati yang ditawarkan oleh Tuhan demi pengampunan dosa-dosa. Meskipun banyak jalan menuju Roma, tetapi jalan ke surga hanya melalui Yesus Kritus. Sangatlah beralasan bila dua hal ini menjadi doktrin Kristen yang sejati. Pertama, tidak akan pernah sah penebusan dosa tanpa melalui darah Kristus (Kel. 24:6-8; Mat. 26:28). Kedua, Yesus Kristus adalah “satu-satunya” jalan keselamatan, bukan “salah satu” jalan keselamatan (band. Yoh. 3:16; 14:6; Kis. 4:12). Haleluyah, kita sudah ditebus dengan darah yang mahal (band. 1 Ptr. 1:18-19) sehingga menjadi umat tebusan yang hidup dalam kemerdekaan (Gal. 3:13; 5:13). Akhir kata saya mengucapkan, “Gong Xi Fat Choi”. Kalau anda meresponinya, jangan lupa untuk memberikan “angpao” bagi saya.

Komentar

Postingan Populer