Berserah kepada Allah

Kelihatannya, sikap kecewa, bersungut, apatis atau marah merupakan hal yang umum terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang mengalami masalah. Dalam hal ini, tidak terkecuali mereka yang disebut atau menyebut dirinya umat Allah. Sikap yang sama juga terjadi pada umat Allah di Perjanjian Lama. Sebagai contoh, ketika mereka keluar dari padang gurun Sin, mereka melanjutkan perjalanan mereka sebagaimana petunjuk Allah. Ketika umat tersebut tiba di suatu tempat persinggahan yang bernama Rafidim, di sana mereka kekurangan air untuk diminum. Nabi Musa menulis: “Hauslah bangsa itu akan air di sana; bersungut-sungutlah bangsa itu kepada Musa...” (Kel.17:3). Umat Allah tersebut bukan saja bersungut, mereka juga disebut bertengkar. Pertengkaran tersebut tidak tanggung-tanggung, karena yang digugat adalah pemimpin besar mereka, yaitu Musa yang telah membawa mereka keluar dari perbudakan di Mesir! (ayat 3b). Bukan saja demikian, mereka juga disebut “mencobai Tuhan” (ayat 2). Jika kita mengamati peristiwa tersebut di atas, sebenarnya dapat dikatakan bahwa masalah yang sedang mereka hadapi adalah masalah kecil jika dibandingkan karya besar Allah yang baru saja mereka alami. Mereka baru saja mengalami mujizat Allah yang mengeringkan laut Teberau sehingga mereka dapat berjalan “dari tengah-tengah laut di tempat kering” (Kel.14:22). Setelah peristiwa tersebut, Allah kembali mengerjakan mujizat dengan memberi seluruh umat makan roti sampai kenyang di pagi hari dan makan daging di waktu petang (Kel.16:8). Di tengah-tengah pengalaman yang sedemikian ajaib, mereka tetap saja mengeluh dan bersungut! Nampaknya, sikap mengeluh dan bersungut-sungut, marah, apatis, telah dianggap sebagian orang menjadi sikap yang wajar. Walaupun demikian, kita perlu berjuang meninggalkan sikap negatif yang demikian dan menggantikannya dengan sikap positif: membangun gaya hidup bersyukur. Bersyukur walau mengalami kesulitan, masalah dan penderitaan hidup? Ya. Gaya hidup seperti itulah yang diserukan oleh nabi Habakuk ketika dia mengakhiri kitabnya dengan menulis: “Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku” (Hab.3:17-18). Apa gunanya terus menerus mengeluh dan marah? Apakah hal itu menyelesaikan masalah dan penderitaan hidup yang sedang dialami? Jawabnya jelas, tidak. Bukan saja tidak menyelesaikan masalah, tapi justru menambah masalah, yaitu masalah yang terjadi di dalam diri sendiri. Sebaliknya dengan sikap bersyukur. Sikap tersebut sangat penting dibina dan dikembangkan terus menerus. Jika masalah di sekitar kita belum dapat kita atasi, setidaknya, kita bisa mengatasi diri sendiri. Artinya, kita dapat memandang masalah dengan sikap yang berbeda. Bukan itu saja, hidup bersyukur dan berserah kepada Allah, berarti memberi kesempatan kepada Allah untuk bertindak menolong dan mengatasi masalah kita. Akhir kata, jika Allah berkenan membawa kita masuk kepada tahun baru 2014, apapun yang terjadi, kita patut bersyukur untuk hidup itu sendiri. Bukankah hidup itu lebih berharga dari segalanya? (penutup) Salam akhir tahun dan Selamat Menyongsong Tahun Baru 2014 Cat: Diambil dengan sedikit perubahan dari buku penulis, berjudul, RAHASIA HIDUP BAHAGIA.

Komentar

Postingan Populer