RAHASIA HIDUP BAHAGIA DI TAHUN BARU IMLEK (1 Samuel 7:2-14)
Tidak terasa Imlek sudah dirayakan oleh masyarakat Tionghoa selama 2564 tahun. Perayaan ini erat kaitannya dengan hikayat masyarakat Tionghoa Kuna tentang adanya binatang jahat atau makhluk raksasa pemakan manusia, bernama Nián (年). Dalam ragam hikayat Nián dikatakan berasal pegunungan atau dari bawah laut. Ia muncul di akhir musim dingin untuk memakan hasil panen, ternak dan bahkan penduduk desa. Untuk melindungi diri maka para penduduk menaruh makanan di depan pintu rumah mereka. Dengan melakukan hal itu dipercayai bahwa Nián akan memakan makanan yang telah mereka sajikan sehingga tidak akan menyerang orang atau mencuri ternak dan hasil panen.
Diyakini pula bahwa Nián takut dengan warna merah karena pada suatu peristiwa penduduk melihat Nián lari ketakutan setelah bertemu dengan seorang anak kecil yang mengenakan pakaian berwarna merah. Karena itulah maka para ibu memberi kertas merah pada anak-anak mereka agar tidak diganggu sehingga anak menjadi senang dan bahagia karena terhindar dari gangguan sang makhluk raksana yang jahat itu. Mereka juga mengantung lampu-lampu lampion di pekarangan, membakar kembang api, membuat suara yang gaduh dan menaruh gulungan kertas merah di jendela dan pintu untuk menakuti Nián.
Tradisi pengurisan Nián ini kemudian berkembang menjadi perayaan Tahun Baru. Guò Nián (Hanzi tradisional: 過年; bahasa Tionghoa: 过年), yang berarti "menyambut tahun baru." Secara harafiah berarti "mengusir Nian, yang mengacu dari kata Guò yang berarti “melewati” dan kata Nián yang menunjuk kepada makhluk atau binatang jahat itu. Dengan begitu maka Guò Nián dapat diartikan datangnya tahun yang baru karena telah melewati masa kesusahan. Pada musim semi Nián tidak masuk ke desa karena telah masuk pada kegelapan dan akan muncul pada musim dingin berikutnya.
Setelah mesim dingin berlalu maka musim semi tiba. Pada musim semi sinar matahari terlihat kembali. Tanaman mulai bertumbuh, bunga bersemi dan panen tiba sehingga kehidupan normal kembali. Pada perkembangan selanjutnya, Imlek telah menjadi bagian dari budaya tradisional. Perayaan Imlek diperingati secara semarak dan dianggap sebagai hari libur besar untuk orang Tionghoa. Dalam perayaan Imlek warna merah yang merupakan lambang kebahagian itu mendominasi. Mulai dari dekorasi ruangan, lampion, hiasan naga, barongsai, angpau, hingga petasan. Kebanyakan masyarakat berpakaian cheongsam merah pada hari tersebut. Kertas merah dilipat berbentuk segi empat lalu di isi dengan uang, yang sekarang lazim dinamakan angpao. Pada hari Imlek angpao itu diberikan sehingga yang menerimanya merasa senang hati dan beroleh kebahagiaan di tahun yang baru.
Pada perayaan Imlek masyarakat akan saling menyapa dan memberi salam. Aksara Tionghoa sederhana untuk salam yang diucapkan itu adalah 恭喜发财 - Aksara Tionghoa Tradisional: 恭喜發財 yang artinya: “Selamat dan semoga banyak rejeki,” dibaca: “Gōngxǐ fācái” (bahasa Mandarin), “Kung hei fat choi” (bahasa Kantonis), “Kiong hi huat cai" (bahasa Hokkien), “Kiong hi fat choi" (bahasa Hakka) dan “Xīnnián kuàilè” yang berarti " (新年快樂) = “Selamat Tahun Baru”.
Di era pemerintahan Presiden Soeharto. perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dilarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek dilakukan di Indonesia. Selama tahun 1968-1999, Imlek tidak pernah dirayakan di indonesia, kalaupun dirayakan pastilah dilakukan dengan cara sembunyi dan tertutup.
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden RI yang kerap disapa Gus Dur itu menindak-lanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001, yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan mulai diberlakukan pada tahun 2003.
Bagaimana dengan masyarakat Kristen di Indonesia, boleh tidak untuk merayakannya? Jawabannya ada dua. Pertama, silahkan untuk merayakannya dan yang kedua, silahkan juga untuk tidak merayakannya. Pada hakikatnya Imlek bukan perayaan agama, melainkan tradisi budaya Tionghoa yang diturunkan secara turun temurun. Imlek bukan milik agama Kong Hu Chu, karena Imlek sudah ada jauh sebelum pendiri agama Kong Hu Chu, Kung Fu Tse ada. Tradisi Imlek juga sudah ada sebelum Agama Tao (Lao Tze) dan falsafah fenomenal Yin Yang ada. Jadi tidak ada salahnya menghormati tradisi nenek moyang. Menurut hemat saya orang Kristen berlatar belakang etnis Tionghoa wajib melestarikan budaya nenek moyang mereka. Kalau bukan mereka siapa yang akan melestarikannya? Selama tradisi budaya itu tidak bertentangan dengan firman Tuhan sah-sah saja untuk dilestarikan.
Bila anda tidak bersedia untuk merayakan juga tidak menjadi masalah. Memang latar belakang Imlek adalah sebuah perayaan yang dilakukan oleh petani di Cina yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun yang baru. Perayaan ini juga berkaitan dengan pesta para petani untuk menyambut musim semi. Karena memang saat ini segmen dan eranya adalah industri, bukan lagi agraris maka sangat beralasan bila anda beranggapan tidak lagi relevan untuk memperingatinya. Terserah anda sajalah.
Mungkin anda bertanya, apa makna perayaan Imlek bagi saya. Pada malam Imlek saya dan keluarga datang ke Klenteng, tetapi bukan untuk beribadah melainkan untuk menikmati pesta kembang api yang menjadi tontonan gratis bagi saya serta masyarakat sekitar Klenteng. Atraksi kembang api ini berjalan selama 45 menit. Puji Tuhan, semua orang merasa terhibur ketika menyaksikan pesta ribuan kembang api dan tarian barongsai.
Mungkin berbeda dengan rekan saya Steven Djie. Dalam akun facebooknya dia menulis, “Jadi, lihatlah setiap ada pertunjukan Barongsai, maka ada angpao diberikan. Warna merah untuk mengusir binatang itu pergi. Kalau sekarang, angpao itu diberikan selain tanda kebahagiaan, juga agar pemain Barongsai segera pergi, berisik gitu deh! Heheheehehe”.
Nah, apa hubungannya dengan nats pembahasan kita? Kebahagiaan adalah dambaan setiap umat manusia. Bahkan manusia mengupayakan segala macam cara untuk dapat meraihnya. Melalui 1 Samuel 7:2-14, dipaparkan rahasia hidup bahagia. Anda dan saya wajib untuk mengetahuinya sehingga Tahun Baru Imlek 2564 sungguh menjadi tahun yang mendatangkan kebagagiaan bagi kita semua.
1. PERTOBATAN (ayat 2-6).
Latar belakang dalam kisah ini dikarenakan bangsa Israel meninggalkan tabut TUHAN (lihat ayat 2). Mereka meninggalkan tabut itu di Kiryat-Yearim, padahal tabut itu adalah “lambang kemenangan” (lihat 1 Sam. 4:3). Akibat meninggalkan tabut TUHAN maka orang Israel sering mengeluh (ayat 2), mendua hati (ayat 3), beribadah kepada para allah asing (ayat 3) dan yang lebih tragis mereka hidup dalam tirani kekuasaan bangsa Filistin (band. 1 Sam. 4:3).
Tabut adalah “tanda kelihatan” dari kehadiran TUHAN (Bil. 10:33-36; 1 Sam. 4:3-7). Terbuat dari kayu penaga yang disalut dengan emas. Bentuknya kotak persegi dengan panjang dua setengah hasta, satu setengah hasta lebarnya dan setengah hasta tingginya (Kel. 25:10-11; 37:1-2). Hasta adalah satuan ukuran; dari siku lengan sampai ujung jari tengah atau kurang lebih 42 centimeter (Kej. 6:15) atau sama dengan dua jengkal (Kel. 28:16; 1 Sam. 17:4).
Keberadaan tabut TUHAN itu sangat dihormati oleh bangsa Israel, bahkan disakralkan. Dalam pemerintahan raja Daud ketika tabut itu hendak dipindahkan ke Yerusalem, Uza tewas karena keteledorannya terhadap tabut itu (2 Sam. 6:6-7). Dalam pemerintahan raja Salomo tabut itu di letakkan di Bait Suci, tepatnya di ruang maha kudus yang ditudungi tutup pendamaian yang berasal dari emas (Kel. 25:17-21). Di dalam tabut itu diletakkan dua loh batu yang berisi kesepuluh firman Tuhan, buli-buli emas berisi manna dan tongkat harun yang pernah bertunas (Ul. 10:1-5 band. Ibr. 9:4). Ketika penghacuran Bait suci di Yerusalem, tabut itu menghilang dan sampai sekarang belum juga ditemukan meskipun ada yang meng-claim sudah menemukannya.
Sejak masa perjalanan di padang gurun (Kel. 16:34), tabut itu selalu dibawa pergi sebagai bukti penyertaan Tuhan terhadap bangsa Israel. Mereka meyakini bila tabut itu beserta dengan mereka maka jaminan kemenangan yang akan didapatkan. Dalam segala aspek kehidupan kristiani, “tabut TUHAN” atau kehadiran Tuhan amat sangat diperlukan. Tanpa kehadiran TUHAN dalam membangun rumah tangga maka sia-sialah usaha orang yang membangunnya (Mzm. 127:1). Tanpa penyertaan TUHAN Allah dalam bidang usaha yang kita kerjakan maka hasilnya tidak akan optimal. Namun bila ada penyertaan Tuhan maka jaminannya adalah keberhasilan dan keberuntungan (band. Yos. 1:7-8; Mzm. 1:3). Cukup lama, yakni dua puluh tahun bangsa Israel meninggalkan tabut TUHAN sehingga menimbulkan dampak buruk atas kelangsungan hidup mereka. Samuel sangat menyadari akan hal itu, sehingga ia menyerukan agar bangsa Israel berbalik kepada Tuhan dengan segenap hati (lihat ayat 2-3).
Secara hurufiah kata “bertobat” berarti “berbalik arah.” Kehidupan yang mengarah kepada kejahatan harus berbalik kepada kebaikan; dari kehidupan berdosa yang bertentangan dengan kehendak Allah, diarahkan kepada kehidupan yang seturut dengan kehendak Allah; dari kehidupan sekular kepada sakral. Alkitab menegaskan bahwa modal utama untuk keberhasilan umat Tuhan adalah pertobatan (band. II Taw. 7:14; II Taw. 26:3-5 dan Mazmur 1:1-2).
Mungkin anda berkata: “Saya tidak melakukan dosa amoral dan tidak melakukan perdukunan, mengapa saya harus bertobat?” Oke lah, tetapi mungkin ada dalam hidupmu baal-baal atau para Asytoret modern yang membelenggu. Baal itu bisa berupa pekerjaan, uang, hobby dan lainnya sehingga menjadi ilah atau sesembahan yang membuat kita mendua hati kepada Tuhan. Sebelum Filistin modern itu datang menjajah kehidupan kita maka segeralah bertobat! Saya meyakini bahwa pertobatan kita secara pribadi akan menentukan keberhasilan, kesuksesan, kemenangan dan limpahan berkat Tuhan yang akan menjadi bagian dari pada hidup kita.
2. PENCOBAAN (ayat 7-9).
Setelah bangsa Israel berbalik kepada TUHAN, lalu pencobaan datang menerpa melalui agresi militer bangsa Filistin yang mengakibatkan bangsa Israel menjadi “ketakutan” (lihat ayat 7). Namun mereka punya solusi jitu untuk mengalahkan musuh, yaitu dengan cara tidak berhenti berseru kepada TUHAN (ayat 8). Di kala orang Filistin menyerang bangsa Israel, “TUHAN mengguntur dengan bunyi yang hebat ke atas orang Filistin dan mengacaukan mereka, sehingga mereka terpukul kalah oleh orang Israel” (ayat 10).
Iman kepercayaan kepada Tuhan tidak terlepas dari pencobaan. Pencobaan itu tidak datang dari Allah, tetapi Dia mengijinkan umat-Nya dicobai. Pada hakikatnya pencobaan atau rintangan kehidupan bukan melawan, tetapi bekerja bagi setiap orang percaya. Yang dibutuhkan saat berada dalam pencobaan adalah bagaimana sikap dan strategi kita menghadapi pencobaan tersebut.
Yesus Kristus Tuhan kita secara tegas menyatakan bahwa menjadi murid-Nya harus bersedia memikul salib setiap hari (band. Lukas 9:23). Salib jangan ditafsirkan sesuatu yang menyenangkan. Salib adalah suatu penderitaan, penghinaan atau pencobaan yang akan membuat kita semakin tahan uji, dewasa secara rohani serta ukuran keberhasilan kita di mata Tuhan. Tuhan tidak pernah menjanjikan kemudahan bagi umat-Nya, tetapi Ia berjanji memberi kekuatan. Tidak pernah Allah menjanjikan jalan mudah, tetapi Ia berjanji memberi kekuatan agar mampu menapaki jalan yang sulit.
Seruan kita kepada Tuhan menjadi kunci keberhasilan yang akan kita raih. Jangan pernah menyerah kalah terhadap pencobaan. Kita diciptakan oleh Tuhan bukan untuk ditakhlukkan, melainkan menaklukkan; bukan sebagai pecundang, tetapi lebih dari pemenang. Hadapilah pencobaan itu dengan berseru secara terus menerus kepada Tuhan hingga saatnya kemenangan itu menjadi suatu kenyataan. Orang bule mengistilahkannya sebagai PUSH yang merupakan akronim dari, “Pray Until Something Happen (teruslah berdoa hingga sesuatu terjadi – terjemahan bebas). Jendral Amerika terkenal Arthur Mc. Doglas pernah berkata, “do not pray for an easy life, but pray to be a strong person” (jangan berdoa untuk suatu kehidupan yang mudah, tetapi berdoalah agar menjadi seorang yang kuat – terjemahan bebas).
3. PERHENTIAN (ayat 10-14).
Kepemimpinan Samuel yang menjadi pemimpin perjalanan atas bangsa Israel sangat teruji. Perjalanan yang mereka tempuh saat itu bukanlah perjalanan rekreasi mendaki gunung, melainkan perjalanan untuk mempertahankan kedaulatan umat Israel. Di suatu tempat antara Mizpa dan Yesana, Samuel dan rombongannya berhenti sejenak. Agaknya, di situ Samuel membuat evaluasi dan menentukan orientasi perjalanan serta mengkonsolidasi rombongan yang dipimpinnya. Lalu bagaimana perasaan Samuel ketika ia melakukan hal itu? Menurut catatan Alkitab, Samuel mengambil sebuah batu dan mendirikannya. Kemudian ia menamainya sebagai Eben Haezer dan berkata, “sampai di sini Tuhan menolong kita” (lihat ayat12).
Kata “Eben Haezer” diterjemahkan dari kata Ibrani אחת ןבא (‘eben ‘ekhawd) yang artinya: “batu pertolongan”. Di saat perhentian itulah Samuel dan rombongannya mengaku bahwa Tuhan yang telah menolong perjalanan mereka. Dengan rasa penuh syukur Samuel menyimpulkan evaluasi perjalanan yang dipimpinnya dengan satu pernyataan, “sampai di sini Tuhan menolong kita” (lihat ayat 12).
Merenung seperti itu pada saat perhentian menjadikan perjalanan hidup bukan sekedar asal jalan dan asal maju. Pada saat tahun baru, hari ulang tahun atau momen spesial lainnya adalah saat yang tepat bagi kita untuk melakukan perhentian sehingga perjalan hidup ini kian menjadi bermakna. Kita perlu mengevaluasi hari, kehidupan dan pelayanan kita. Seperti halnya Samuel dan bangsa Israel, biarlah kita juga menyimpulkan evaluasi perjalanan hidup bahwa: “Sampai saat ini TUHAN menolong kita”.
Namun perjalanan hidup kita belum selesai. Ini hanya sebuah perhentian. Kita masih perlu meneruskan perjalanan sebab perjalanan kita masih panjang. Pasti ada rintangan yang akan menghadang saat kita menapaki perjalanan hidup ini. Namun jangan pernah dilupakan bahwa TUHAN selalu beserta kita. Dan TUHAN tidak berjanji akan menghilangkan rintangan itu dari perjalanan hidup umat-Nya, melainkan berjanji untuk senantiasa menolong kita dalam menapaki perjalanan kehidupan ini. Masukilah tahun baru Imlek ini dengan suatu janji yang pasti bahwa Allah senantiasa menolong perjalanan hidup kita. Ia tidak pernah sekalipun membiarkan dan meninggalkan kita berjalan sendiri (Ibr. 13:5), sebab Ia adalah Imanuel, Allah yang menyertai kita senantiasa sampai kepada akhir zaman (Mat. 28:20). Gong Xi Fa Cai.
Komentar
Posting Komentar