Sejarah dan Mukjizat

Sejarah, menurut Encarta adalah "pada pengertiannya yang luas, totalitas
dari semua kejadian masalalu," dan menurut Britannica "disiplin yang
mempelajari rekaman kejadian secara kronologis (menyangkut negara dan
manusia) berdasarkan pengujian kritis atas materi sumber dan biasanya
menyajikan penjelasan atas penyebabnya," sedangkan Wikipedia menyebut
"Sejarah adalah narasi dan penelitian kejadian masa lalu yang sinambung dan
sistematis."



Secara singkat ketiganya bisa dirangkum menjadi "Sejarah adalah keseluruhan
cerita tentang kejadian masalalu yang disusun secara sistematis, kronologis
dan sinambung yang sumbernya diuji secara kritis dan diteliti untuk
menjelasan penyebabnya." Ada empat hal kita lihat disini, yaitu: (1)
totalitas kejadian (events); (2) materi sumber cerita; (3) penjelasan
penyebab terjadinya kejadian tersebut; dan (4) sikap sejarahwan yang menguji
dan meneliti.



Yang jelas, sejarah merupakan laporan totalitas kejadian (event). Sekalipun
ada yang mempersempit kejadian yang hanya dilihat dari penyebab yang
'empiris natural, sosiologis, dan kultural dengan hukum sebab-akibatnya,'
faktanya kejadian didunia ini mencakup totalitas realita yang tidak semuanya
bisa dicakup dari sudut partial menurut kacamata modern yang terbatas ini.



Sejak awalnya sejarah mencakup totalitas yang sukar dibagi-bagi secara
partial. Herodotus yang disebut sebagai 'bapak sejarah' dalam tulisannya
tentang 'Sejarah' mengutip narasi yang ada yang mencakup legenda, ini
terlihat dalam tulisannya mengenai 'Perang Troya' yang terkenal itu. Agaknya
dalam penulisan sejarah kita tidak mungkin bisa memisahkan mana yang
dianggap mitos dan mana yang bisa dianggap fakta empiris natural, soalnya
baik yang mitos bisa mengandung kebenaran, sedangkan yang disebut empiris
natural bisa saja mengandung ketidak-benaran. Sejarahwan Josephus dalam
tulisannya juga menyebut mengenai Yesus yang melakukan mujizat, disalibkan
dan bangkit pada hari ketiga.



Masa Rasionalisme membuka wawasan sejarah untuk lebih teliti memisahkan
narasi yang faktual dan kebenaran pelapor/sejarawan, namun optimis
rasionalisme itu kemudian mendorong ilmu sejarah kepada fanatisme modernisme
seakan-akan hanya yang modern yang empiris natural yang bersifat sains dan
benar dan yang diluar itu dianggap mitos yang tidak benar, namun Masa
Informasi postmodern yang lebih dikenal sebagai 'posmo' tidak lagi
mempercayai kemutlakan sains modern dan kembali terbuka kepada yang
supra-natural dan mitologis. Encarta menyebut: "Optimisme sebelumnya yang
menjanjikan pengungkapan kedekatan akan kebenaran pada masa lalu digantikan
oleh keyakinan bahwa tidak ada akumulasi fakta menjadi sejarah sebagai
struktur yang jelas, dan tidak ada ahli sejarah, bagaimanapun bebas dari
bias sekecilpun, dapat secara total netral dan perekam tidak berpribadi dari
realitas obyektif." (History & Historiography).



Sejarah bergantung dari dua hal penting, yaitu keterbukaan kita akan apa
realita totalitas itu, dan netralitas dan kejujuran sipelapor / sejarawan
yang merangkum laporan-laporan itu. Harus disadari bahwa acapkali sains
modern terjerat konsep sempit tentang alam natural yang berdemensi tiga
dengan hukum sebab-akibatnya dan mengabaikan totalitas realita tentang
keberadaan yang mencakup dimensi supra alami. Memang sejak timbulnya
rasionalisme yang menghasilkan ilmu pengetahuan alam dengan hukum-hukum
alamnya dan memuncak dalam sekularisme yang hanya berorientasi pada yang
'Saeculum' (dunia ini), banyak orang terjerat konsep sempit yang menolak dan
mengabaikan realita 'Aeternum' (eternal/kekal). Manusia modern menolak
segala hal yang disebut sebagai mujizat dan gejala supranatural/paranormal,
dan menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil terjadi di alam ini,
akibatnya semua hal-hal yang berbau mujizat dan supranatural/paranormal yang
dipercayai dalam semua agama, ditolak sebagai tidak pernah terjadi dan
dianggap hanya sekedar termasuk ranah teologis yang non-sains.



Dalam teologi kita melihat perkembangan liberalisme yang terungkap dalam
pemikiran beberapa orang. Para teolog era rasionalisme banyak terpengaruh
liberalisme menolak mujizat dan gejala supranatural sebagai melawan hukum
alam. Puncak pemikiran liberal yang menolak mujizat diwakili teolog sekuler
Rudolf Bultmann. Istilah Demitologisasi dipopulerkan Rudolf Bultmann
(1884-1976), menurutnya kitab Injil seharusnya dianalisis lebih lanjut dalam
berbagai bentuk yang dibuat oleh gereja awal sebelum ditulis. Bentuk-bentuk
ini tidak banyak menjelaskan kepada kita tentang apa yang sebenarnya
dilakukan dan dikatakan Yesus, melainkan tentang 'apa yang dipercayai oleh
gereja awal tentang Yesus'. Di tahun 1926 Bultmann menulis buku 'Jesus'
dimana dikatakan bahwa yang penting bukan apa yang obyektip tentang Yesus,
tetapi bahwa 'kebenaran itu akan timbul dalam tanggapan iman yang subyektip
dari para pengikut.' Dalam era Bultman dikotomi 'Yesus Iman' dan 'Yesus
Sejarah' menjadi jurang yang semakin dalam.



Dalam karyanya berjudul 'New Testament and Mythology' (1941) Bultmann
mengemukakan bahwa seluruh pola pikir masa Perjanjian Baru terutama
kosmologinya bersifat mitologi yang merupakan faham pra-ilmiah yang berasal
dari faham Gnostik pra-Kristen (seperti misalnya soal surga-bumi-neraka,
kekuatan spiritual, kekuatan supranatural yang menerobos alam nyata, dan
perlunya manusia ditebus) (New Testament & Mythology, dalam 'Karygma &
Myth,' hlm. 1 dst.). Mengenai Mitologi, tepatnya dikatakan: "Seluruh konsep
dunia yang dikemukakan dalam kotbah Yesus seperti yang dijumpai dalam
Perjanjian Baru bersifat mitologis; yaitu: konsep mengenai dunia yang
terdiri dari tiga lapis, surga, bumi dan neraka; konsep campur tangan
kekuatan-kekuatan supranatural pada kejadian-kejadian di bumi; dan konsep
mujizat terutama konsep mengenai campur tangan supra-natural dalam kehidupan
dalam dari jiwa, konsep bahwa manusia dapat digoda dan dirusak oleh iblis
dan roh-roh jahat" (Jesus Christ & Mythology, hlm.15)



Menurut Bultmann, konsep itu disebut mitologi karena berbeda dengan konsep
dunia yang dibentuk dan dikembangkan oleh ilmu pengetahuan yang diterima
orang modern. Menurutnya, dalam konsep dunia, hubungan sebab-akibat bersifat
azasi. Yang sekarang dibutuhkan adalah 'demitologisasi kekristenan' yaitu
'melepaskan dan mengartikan kembali kenyataan sebenarnya lepas dari kerangka
mitologi tersebut sehingga Injil dapat diberitakan dalam kemurniannya.'
Dalam bukunya Bultmann juga mengatakan bahwa: "... ucapan mitologis secara
keseluruhan mengandung makna yang lebih dalam yang dikemas dalam bungkus
mitologi. Bila demikian, tepatnya, kita membuang konsep mitologi karena kita
ingin menemukan artinya yang lebih dalam. Cara penafsiran demikian yang
berusaha mengungkap artinya yang lebih dalam dibalik konsep mitologi saya
sebut sebagai demitologisasi ... Maksudnya bukannya untuk meniadakan
pernyataan yang bersifat mitologis tetapi menafsirkannya kembali" (Jesus
Christ & Mythology, hlm. 18).



Pada prinsipnya Kritik Historis dan studi tentang Yesus Sejarah dan Kitab
Injil menunjukkan 'keraguan akan sifat sejarah kitab-kitab Injil, menolak
hal-hal yang bersifat mujizat dan supranatural, dan menjadikan Yesus hanya
sebagai tokoh moral atau politis saja,' dan lebih lanjut menurut Bultmann,
tugas manusia adalah melepaskan manusia dari kerangka mitos yang tidak
ilmiah itu (demitologisasi) atau melepaskan 'Yesus Sejarah' dari 'Yesus
Iman.' Konsep de'mitologi'sasi yang dikemukakan oleh Bultmann sama
dibandingkan istilah yang dengan tepat disebut de'mirakuli'sasi oleh Deshi
Ramadhani dalam tulisannya 'Historisasi Makam Kosong Yesus' (Kompas, 5 Mei
2007). Benarkan alam semesta hanya terdiri dari realita alami yang
berdemensi tiga? Mungkinkah ada realita lain yang belum terjangkau oleh ilmu
pengetahuan alam masakini dengan hukum-hukum alam yang total dan mutakhir?



Menarik menyaksikan perkembangan budaya dunia dimana era modern (abad-17-20)
yang sekular dan materialistis ternyata telah membuat manusia mengalami
kekosongan batin, dan sejak era 1960-an kembali dunia mencari nilai
supranatural dan transendental yang selama ini dibungkam rasionalisme. Era
posmo (postmodern) ditandai kembalinya manusia membuka diri akan masalalu
dan melongok ke agama-agama tradisional dan mistik. Masyarakat umum kembali
membuka diri kepada yang paranormal yang menurut The Journal of
Parapsychology (2006), diartikan sebagai: "semua gejala yang dalam satu dan
banyak hal melampaui batas apa yang secara fisik dianggap mungkin menurut
perkiraan ilmu pengetahuan masakini".



Encarta memasukkan paranormal dalam kategori Psychical Research, yaitu
penelitian ilmiah akan gejala yang terjadi tetapi berada diluar jangkauan
teori fisika, biologi, maupun psikologi konvensional. Ensiklopedi Britannica
menyebut paranormal sebagai gejala parapsikologi (PSI) yang menyangkut
kejadian yang tidak dimengerti hukum alam atau ilmu pengetahuan biasa yang
hanya terjangkau oleh pancaindera.



Pendekatan gejala supranatural/paranormal melalui perspektif penelitian
sulit, bukan karena gejala itu tidak benar, tetapi sulit dijelaskan
menggunakan ukuran teori dan hukum yang ada. Karena itu gejala paranormal
terjadi diluar konvensi yang normal. Apakah paranormal itu realita yang lain
dari realita tiga dimensi yang bisa diamati dan dirasakan oleh kelima
pancaindera manusia, ataukah paranormal bisa disebut bagian dari realita
dimensi supra-natural yang lebih luas dari realita natural? Profesor Hans
Bender, salah satu tokoh perintis penyelidikan psikik (psychic),
mengemukakan bahwa ia menemukan banyak bukti bahwa dibalik realita alam
nyata yang dapat kita hayati dengan pancaindera, ada realita yang lain.
Menurutnya: "Realita yang lain ini bukan supranatural, itu natural, tetapi
kita belum bisa menjelaskannya secara penuh." (J.L. Collier, Sciece Probe
the Mystery of P.K., Reader Digest, April 1974).



Sedini tahun 1882, di Inggeris sudah dibentuk Society of Psychical Research,
dan salah satu tokohnya, J.B. Rhine (1895-1980), di tahun 1930-an mulai
menggunakan pendekatan eksperimen untuk meneliti gejala-gejala yang termasuk
paranormal atau psikik. Pada tahun 1957 dibentuklah Parapsychological
Association yang kemudian berafiliasi dengan American Association for the
Advancement of Science, jadi paranormal sudah masuk dalam hitungan sains!



Charles Fort (1874-1932) adalah kolektor anekdot paranormal yang
mengumpulkan 40.000 gejala paranormal yang sukar untuk dijelaskan menurut
hukum alam yang selama ini kita ketahui. Kejadian ganjil/aneh yang
dikumpulkannya termasuk gejala poltergeist (roh ribut), jatuhnya
katak/ikan/benda-benda dari langit dalam area yang luas, suara-suara dan
ledakan yang tidak jelas penyebabnya, kehadiran api yang tiba-tiba, kondisi
melayang, bola-bola api, UFO, penampakan yang misterius, roda cahaya di
lautan, penampakan binatang diluar habitatnya, penampakan maupun
menghilangnya manusia tanpa kejelasan, dll. Segitiga Bermuda menunjukkan
gejala persinggungan alam natural dan material dengan alam
supranatural/paranormal. Justus Schifferes dalam tulisannya mengenai
'science through the ages' dalam abad-XX, mengemukakan bahwa: "Nada ilmu
pengetahuan pada abad-XIX bersifat positif dan materialistik; para ahli
sains melepaskan ikatannya dengan filsafat yang bersifat spekulatip. Tetapi
hari ini situasinya berubah secara drastis. Ahli ilmu pengetahuan modern
tidak lagi berbicara secara final; ia tidak berharap mengungkap hukum-hukum
yang tidak berubah. Ia mengedepankan kesimpulannya sebagai relatif, tentatif
dan tidak tentu." (The Book of Popular Science, 1967, hlm.279).



Dalam buku 'Spiritual Healing' disebutkan bahwa hanya sekitar 20% penyakit
dimengerti melalui pengobatan modern, sisanya mencari jawab melalui
'pengobatan alternatif' yang melihat realita kesehatan dan penyakit secara
holistik. Keterbukaan akan mujizat yang dahulunya dicap magis sedikit demi
sedikit diakui kembali oleh dunia ilmu pengetahuan dan kejadian sehari-hari.
Di seluruh dunia termasuk Indonesia, di kalangan perdukunan dan tradisi
sudah biasa penyakit yang sudah membusuk bisa dipulihkan menjadi baik
kembali oleh 'orang-orang pinter.'



Dalam edisi 10 April 1995, majalah Time mengemukakan 'cover story' berjudul:
"Can We Still Believe In Miracle?" yang menceritakan bayi Elizabeth yang
sebelah matanya tidak bisa digerakkan karena terkena tumor meningioma, tumor
ganas yang selama ini belum ada yang bisa sembuh. Keluarga Elizabeth
menggelar doa-doa kesembuhan yang sinambung, dan heran ketika jaringan tumor
diperiksa kembali sebelum operasi, samasekali tidak ada bekas tumor
terlihat! Di Amerika Serikat ada serial TV yang menguak kejadian-kejadian
paranormal, yaitu 'Miracle Research Center' yang mengumpulkan dan
menyelidiki peristiwa mujizat di seluruh dunia. Pada sampul seri VCDnya,
ditulis: Experiences That Defy Logic And Reason.



Memang berbeda dengan konsep ilmu pengetahuan dimana obyek yang diteliti
harus bisa diulang dan diamati oleh panca-indera, gejala mujizat dan
supranatural/paranormal tidak bisa diharapkan terjadi karena manusia mau
mengulangnya, mujizat dan gejala supranatural/paranormal adalah kejadian
nyata yang terjadi secara insidentil, dan lebih banyak terjadi dikalangan
yang terbuka hatinya (yang mengimaninya). Para skeptik kurang beruntung
menyaksikan kejadian-kejadian mujizat dan gejala supranatural/paranormal,
bukan karena kejadian itu tidak ada dan tidak bisa dibuktikan oleh
hukum-hukum alam yang terbatas itu, tetapi karena banyak ahli sains terjerat
keterbatasan pemikirannya dan menutup hati mereka dibalik hukum-hukum alam
ciptaan manusia yang terbatas.



Keterbukaan masyarakat akan gejala paranormal/supra alami bisa dilihat pada
survai Gallup Poll (2005) yang menemukan fakta bahwa 73% responden pernah
mengalami setidaknya salah satu dari 10 gejala paranormal berikut: Indera
keenam (ESP, 41%); rumah hantu (37%); hantu (32%); telepati (31%); melihat
jarak jauh (26%); astrologi (25%); hubungan dengan orang mati (21%); dukun
sihir (21%); reinkarnasi (20%); dan pawang (9%). Penelitian yang dilakukan
Monash University di Australia (2006) kepada 2000 responden mengungkapkan
fakta bahwa 70% responden mengalami gejala paranormal yang tidak dimengerti
tetapi telah mengubah kehidupan mereka.



Mercia Eliade pakar sejarah agama itu sudah lama menyebut realita lain itu
sebagai 'The Sacred' (yang dibedakan dengan 'the Profane'). Sekalipun
Bultmann secara skeptik menolak adanya terobosan dunia ilahi ke dunia alami,
Eliade menemukan banyak bukti di seluruh dunia adanya terobosan realita the
Sacred ke realita the Profane yang disebutnya 'Hierophany' yaitu penampakan
yang suci. Biasanya hierophany menggunakan media orang suci, kitab suci,
gunung, pohon besar, atau kawasan khusus lainnya sebagai jendela antar
realita sebagai media.

Buku The World of the Paranormal menunjukkan secara skriptural dan visual
bahwa gejala-gejala paranormal adalah normal banyak terjadi di alam nyata
ini. Pendahuluan buku itu menyebutkan: "Dunia baru yang mengagumkan nyaris
terungkap didepan mata saudara. Sebuah dunia yang mencengangkan para ahli
ilmu pengetahuan dan para skeptik. Sebuah dunia yang menggugah rasa ingin
tahu kita. Sebuah dunia yang menantang penjelasan rasional." (1995, hlm.3)



Buku lain berjudul Paranormal Files yang memaparkan secara gamblang banyak
gejala paranormal, menyebutkan, bahwa: "Sejak masa kuno yang tidak diingat
manusia, semua bentuk kejadian yang aneh, berlawanan dengan hukum alam
seperti yang kita mengerti, telah mencengangkan umat manusia. ... reaksi
kita atas kejadian-kejadian yang semula kelihatan sangat tidak mungkin tidak
seharusnya diwarnai dengan ketidakpercayaan yang mutlak. Seharusnya perlu
diterima dengan pikiran terbuka (open mind)" (1997, hlm. 135,136).



Buku 'Marvels & Mysteries of the Unexplained' (2006) mengungkapkan kenyataan
gejala paranormal diseluruh dunia. Ketiga buku paranormal yang disebutkan
menunjukkan bahwa Paranormal adalah gejala riel namun belum dimengerti oleh
keterbatasan sains dan hukum alam yang selama ini dikenal. Kenyataan ini
mendorong kita untuk membuka diri terhadap hal-hal yang supra-natural baik
sebagai sesuatu yang dibedakan dengan yang natural atau memasukannya dalam
kategori natural karena memang terjadi di alam nyata ini. Kenyataan ini juga
membuka wawasan kita bahwa hal-hal supranatural dan mujizat yang banyak
menghiasi halaman Alkitab memang terjadi dalam sejarah alam nyata ini dalam
konteksnya masing-masing.



Mengenai mujizat dan gejala supranatural yang banyak terjadi sekitar tokoh
Musa (Perjanjian Lama) dan Yesus (Perjanjian Baru), dibalik sikap skeptik
ilmuwan modern, banyak ilmuwan posmo sudah mulai menguak tentang kemungkinan
adanya kebenaran dalam narasi sekitar kedua tokoh itu. Berbagai kemungkinan
seperti kehadiran meteor/komet/gejala alam sekitar keluarnya umat Israel dan
Mesir mulai diselidiki. Astronom Victor Cube dan Bill Napier dari Royal
Observatory di Edinburgh (sekarang di Oxford University) mengamati berbagai
mitologi dalam banyak kebudayaan di dunia dan melihat ada kaitan dengan
gejala alam yang diakibatkan oleh meteor dan komet maupun planet yang juga
terjadi pada peristiwa sekitar Musa di Mesir.



Soal turunnya 'manna' dari langit di Sinai dan Yesus memberi makan 5000
orang sudah mulai terkuak kemungkinannya dengan banyak kejadian mirip yang
terjadi berkali-kali dalam sejarah. Dalam buku 'The Paranormal Files'
dibahas When Fish Pour Down Like Rain (hlm.139-145), disebutkan bahwa Dr.
E.W. Grudger dari US Museum of Natural History mencatat di seluruh dunia 78
kali terjadinya ikan, katak, belut dan lainnya tiba-tiba ada ditanah
(deisebut jatuh dari langit) dalam jumlah banyak, bahkan Gilbert Whitley
meneliti data yang ada pada Australian Museum mencatat bahwa ada 50 kejadian
serupa terjadi di Australia saja pada kurun tahun 1879-1971. Pada dua
kejadian di India, di Futterpur (1833) diperkirakan jatuh 3000 ikan, dan di
Allahabad (1836) 4000 ikan! Memang kejadian-kejadian ini bukan bukti mujizat
manna dan ikan dalam mujizat Yesus, tetapi setidaknya kita tahu bahwa
pemberian makan ribuan orang secara sukar dimengerti sudah beberapa kali
terjadi dalam sejarah. Tugas ahli sejarah adalah bagaimana menguak misteri
dibalik mujizat itu secara obyektip dan tidak berlindung di balik
skeptisisme ilmu pengethuan yang belum sempurna.



Berdasarkan kenyataan Paranormal dan Supranatural yang mendorong kita
membuka wawasan itu, setengah abad berikutnya sesudah Bultmann mengucapkan
'demitologisasi'nya, kita melihat bahwa ucapannya itu telah menjadi kuno dan
menjadi teori masa lalu. Konsep dunia tiga lapis (dunia, surga dan neraka)
bukan merupakan hal aneh dalam paranormal, adanya campur tangan yang
paranormal pada yang normal sudah tidak diragukan lagi karena banyak
kejadian yang tidak terjelaskan (unexplained events) membuktikannya. Mujizat
juga adalah biasa dalam dunia paranormal, apalagi konsep kerasukan setan dan
roh jahat sudah menjadi bagian yang banyak terjadi dan diamati dalam dunia
paranormal dan normal sehari-hari diseluruh dunia.



Ada dua kesalahan pokok dalam pola pikir Bultmann, yaitu: (1) Bultmann
melakukan generalisasi dimana semua gejala supranatural/paranormal termasuk
mujizat digeneralisasikan sebagai mitologi; dan (2) Bultmann juga melakukan
generalisasi dengan menganggap yang disebutnya mitologi/mitos itu sebagai
pemikiran pra-ilmiah yang tidak benar terjadi dalam sejarah. Konsep
de'mitologi'sasi Bultmann sekarang perlu digantikan dengan de'Bultmann'isasi
mitos, mitos yang dikembalikan pengertiannya yang netral sebagai narasi
gejala perbatasan yang supra alami dan alami. Tugas sejarahwan bukanlah
untuk menolak realita paranormal sebagai bukan realita, tetapi bagaimana
memilah fakta dari fiksi dalam realita paranormal tersebut, demikian juga
ahli sejarah perlu berintrospeksi mengenai asumsi modern mereka yang
terbatas dan perlu membuka diri sambil memilah yang fiksi dan fakta dalam
catatan kejadian yang secara rasional memenuhi hukum sebab-akibat yang
natural. Mitos tidak lagi bisa dianggap sekedar sesuatu yang metaforis saja
tetapi mitos harus diteliti mana aspek di dalamnya yang metaforis dan mana
yang faktual.



Masalah Mujizat dan gejala Supranatural/Paranormal adalah normal terjadi
dalam banyak kejadian dalam sejarah, jadi yang menjadi masalah disini adalah
bahwa bukan dikotomi antara Iman dan Rasio, atau antara Teologi dan Ilmu
Sejarah, tetapi dikotomi terjadi antara 'Penggunaan Rasio dengan Iman' dan
'Penggunaan Rasio tanpa Iman.' Tepat seperti yang dikemukakan oleh Deshi
Ramadhani dalam tulisannya berjudul 'Historisasi Makam Kosong Yesus'
(Kompas, 5 Mei 2007), bahwa masalahnya terletak pada pilihan antara prinsip
"yang ajaib pasti tidak historis" atau "yang ajaib bisa sungguh historis."



Sebagai contoh kita amati kasus makam Talpiot dan osuari Yakobus yang
dipopulerkan oleh James Cameron di Discovery Channel dengan judul The Lost
Tomb of Jesus. Fakta sejarah dan arkeologi menunjukkan bahwa di tahun 1980
ditemukan makam Talpiot dengan isi 10 osuari yang menurut foto dan catatan
disebut 6 diantaranya berinskripsi dan 4 polos dimana salah satu dari yang 4
hilang, dan fakta lain adanya Oded Golan pemilik osuari Yakobus yang
sekarang dijadikan tersangka sebagai anggota jaringan pemalsu inskripsi
termasuk inskripsi osuari Yakobus yang diakuinya berasal dari Silwan dan
dibeli tahun 1970-an. Adanya hipotesa yang mengkait-kaitkan dan menyebutkan
bahwa osuari Yakobus berasal makam Talpiot perlu diuji, sebab bila osuari
Yakobus berasal Talpiot, maka inskripsi pada osuari Yakobus itu tentu palsu.
Di sisi lain bila inskripsi itu benar dan asli, tentu bukan berasal dari
Talpiot karena menurut Prof. Amos Kloner yang pertama mencatatnya di tahun
1980, osuari yang hilang dari Talpiot tercatat tidak memiliki inskripsi
apa-apa. Jadi, keduanya tidak membuktikan bahwa tulang-tulang Yakobus
berasal dari makam Talpiot (oleh Oded Golan disebut berasal dari Silwan).
Disini kita berhubungan bukan dengan ilmu arkeologi yang objektip dan benar,
tetapi berhubungan dengan adanya penafsiran akan sejarah dan arkeologi yang
hipotetis dan spekulatif sifatnya, dan menghasilkan kesimpulan yang lebih
tepat disebut sebagai fiksi sejarah.

Komentar

Postingan Populer