Karakteristik Wirausaha

Sama nasibnya dengan mencari kesepakatan tentang pengertian wirausaha, upaya mencari karakteristik wirausaha menghasilkan banyak variasi karakteristik. Misalnya Rao menghasilkan daftar karakteristik pribadi wirausaha (personality characteristics of entrepreneurs) sebanyak 57 karakterstik. Yang lebih membuat sulit menemukan satu kesepakatan karakterstik wirausaha adalah adanya kenyataan sebagai berikut :
- Wirausaha yang berhasil tidak selalu mempunyai semua karakterstik yang disebutkan oleh pelbagai ahli.
- Karakterstik yang disebut sebagai karakteristik wirausaha juga dimiliki oleh bukan wirausaha bisnis, misalnya dimiliki oleh seorang guru besar, peneliti ahli, atau wiraniaga (salesman) jagoan.
Salah satu pengupaya pencarian karakterstik pribadi wirausaha yang terkenal adalah Davi McCleland. Disimpulkan bahwa ada korelai yang positif antara tingkah laku orang yang memiliki motif prestasi (need for achievement) tinggi dan tingkah laku wirausaha. Karakteristik orang dengan motif prestasi yang tinggi adalah :

1. Memilih resiko moderat
Dalam tindakannya dia memilih melakukan sesuatu yang ada tantangannya, namun dengan kemungkinan keberhasilan yang dianggap cukup tinggi.
2. Mau mengambil tanggung jawab pribadi
Kegagalan yang terjadi tidak dialihkan tanggung jawabnya pada “kambing-hitam”.
3. Mencari dan mau menerima umpan balik
4. Berusaha mencari cara-cara baru untuk melakukan sesuatu
Upaya untuk mengungkapkan karakterstik utama wirausaha juga dilakukan oleh para ahli dengan menggunakan teori letak kendali (locus of control) yang diketegangkan oleh J.B. Rotter. Teori letak kendali menggambarkan bagaimana meletakkan sebab dari suatu kejadian dalam hidupnya. Apakah sebab kejadian tersebut oleh faktor dalam dirinya dan dalam lingkup kendalinya, atau faktor diluar kendalinya.
Rotter membuat dua kategori letak kendali, yaitu internal dan eksternal. Pada orang yang letak kendalinya eksternal akan beranggapan keberhasilan tidak semata tergantung pada usaha seseorang, melainkan juga oleh keberuntungan, nasib, atau ketergantungan pada pihak lain, karena adanya kekuatan besar disekeliling seseorang.
Pada orang internal, yang bersangkutan beranggapan bahwa dirinyad mempunyai kendali atas apa yang akan dicapainya. Karakterstik tipe internal sejalan dengan karakterstik wirausaha, misalnya lebih cepat mau menerima pembaharuan (inovasi).
Management System International menyebutkan karakterstik pribadi wirausaha (personal entrepreneurial characteristics) sebagai berikut :
- Mencari peluang (opportunity seeking)
- Keuletan (persistence)
- Tanggung jawab terhadap pekerjaan (commitment to the work contract)
- Tuntutan atas kualitas dan efisiensi (demand of quality and efficiency)
- Pengambilan resiko (risk taking)
- Menetapkan sasaran (goal setting)
- Mencari informasi (information seeking)
- Perencanaan yang sistematis dan pengawasannya (systematic planning and monitoring)
- Persuasi dan jejaring / koneksi (persuasion and neworking)
- Percaya diri (self confidence)
Dalam literatur dan buku pegangan kewirausahaan dapat ditemui pelbagai daftar karakterstik wirausaha. Karakterstik yang juga sering disebut adalah adanya kecenderungan untuk berkreasi (creativity) yang dalam daftar karakterstik pribadi wirausaha diatas tidak dicantumkan.

Nilai-nilai Hakiki Kewirausahaan
Masing-masing karakterstik kewirausahaan tersebut diatas memiliki makna-makna dan perangai tersendiri yang disebut nilai. Milton Rockeach (1973 : 4), membedakan konsep nilai menjadi dua, yaitu nilai sebagai “sesuatu yang dimiliki oleh seseorang” (person has a value), dan nilai sebagai “sesuatu yang berkaitan dengan objek” (an object has value). Pandangan pertama, manusia, manusia mempunyai nilai yaitu sesuatu yang dijadikan ukuran baku bagi persepsi terhadap dunia luar. Menurut Sidharta Poespadibrata (1993 : 91) watak seseorang merupakan sekumpulan perangai yang tetap. Sekumpulan perangai yang tetap itu dapat dipandang sebagai suatu sistem nilai (Rockeach, 1973). Oleh karena itu, watak dan perangai yang melekat pada kewirausahaan dan menjadi ciri-ciri kewirausahaan dapat dipandang sebagai sistem nilai kewirausahaan.

Nilai-nilai kewirausahaan diatas identik dengan sistem yang melekat pada sistem nilai manajer. Seperti dikemukakan oleh Andreas A. Danadjaja (1986), Andreas Budihardjo (1991) dan Sidharta Poespadibrata (1993), dalam sistem nilai manajer ada dua kelompok nila, yaitu : (1) Sistem nilai pribadi; (2) Sistem nilai kelompok atau organisasi. Dalam sistem nilai pribadi terdapat empat jenis sistem nilai, yaitu (1) Nilai primer pragmatik, (2) Nilai primer moralistik, (3) Nilai primer afektif dan (4) Nilai bauran. Dalam sistem nilai primer pragmatik terkandung beberapa unsur diantaranya perencanaan, prestasi, produktivitas, kemampuan, kecakapan, kreativitas, kerja sama, kesematan. Sedangkan dalam nilai moralistik terkandung unsur-unsur keyakinan, jaminan, martabat pribadi, kehormatan dan ketaatan.
Dalam kewirausahaan, sistem nilai primer pragmatik tersebut dapat dilihat dari watak, jiwa dan perilakunya, misalnyad selalu kerja keras, tegas, mengutamakan prestasi, keberanian mengambil resiko, produktivitas, kreativitas, inovatif, kualitas kerja, komitmen dan kemampuan mencari peluang. Selanjutnya, nilai moralistik meliputi keyakinan atau percaya diri, kehormatan, kepercayaan, kerja sama, kejujuran, keteladanan dan keutamaan.


ada empat nilai dengan orientasi dan ciri masing-masing sebagai berikut :
(1) Wirausaha yang berorientasi kemajuan untuk memperoleh materi, ciri-cirinya pengambil risiko, terbuka terbuka teknologi dan mengutamakan materi.
(2) Wirausaha yang berorientasi pada kemajuan tetapi bukan untuk mengejar materai. Wirausahan inin hanya ingin mewujutkan rasa tanggung jawab , pelayanan, sikap positif, dan kreativitas .
(3) Wirausahan yang berorientasi pada materai, dengan berpatokan pada kebiasaan sudah yang ada, misalnya dalam perhitungan usaha dengan kira –kira , sering menghadap ke arah tertentu (aliran pengshui) supaya berhasil .
(4) Wirausahan yang berorientasih pada non-materai, dengan bekerja berdasarkan kebiasaan, wirausahan model ini biasanya tergantung pada pengalaman, berhitung dengan menggunakan mistik, paham etnosentris, dan taat pada tata cara leluhur.
Penerapan masing-masing nilai sangat tergantung pada fokus dan tujuan masing-masing wirausaha.
Dari beberapa ciri kewirausahaan diatas, ada beberapa nilai hirarki penting dari kewirausahaan, yaitu :
(1) Percaya Diri (Self – confidence)
Kepercayaan diri merupakan suatu paduan sikap dan keyakinan seseorang dalam menghadapi tugas atau pekerjaan (Soesarsono Wijandi, 1988:33). Dalam praktik sikap dan kepercayaan ini merupakan sikap dan keyakinan untuk memulai, melakukan dan menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan yang dihadapi. Oleh sebab itu kepercayaan diri memiliki nilai keyakinan, optimisme, individualitas dan ketidaktergantungan. Seseorang yang memiliki kepercayaan diri cenderun memiliki keyakinan akan kemampuannya untuk mencapai keberhasilan (Zimmerer 19966 : 7).

Kepercayaan diri ini bersifat internal pribadi seseorang yang sangat relatif dan dinamis, dan banyak ditentukan oleh kemampuannya untuk memulai, melaksankaan, dan menyelesaikan suatu pekerjaan. Orang yang percaya diri memiliki kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan sistematis, berencana, efektif dan efisien. Kepercayaan diri juga selalu ditunjukkan oleh ketenangan, ketekunan, kegairahan, dan kemantapan dalam melakukan pekerjaan.
Keberanian yang tinggi dalam mengambil risiko dan perhitungan yang matang yang dibarengi dengan optimisme harus disesuaikan dengan kepercayaan diri. Oleh sebab itu, optimisme dan keberanian mengambil risiko dalam menghadapi suatu tantangan dipengaruhi oleh kepercayaan diri. Kepercayaan diri juga ditentukan oleh kemandirian dan kemampuan sendiri. Seseorang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi, relatif lebih mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah sendiri tanpa menunggu bantuan orang lain.
Kepercayaan diri diatas, baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi sikap mental seseorang. Gagasan, karsa, inisiatif, kreativitas, keberanian, ketekunan, semangat kerja keras, kegairahan berkarya, dan sebagainya banyak dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan diri seseorang yang berbaur dengan pengetahuan keterampilan dan kewaspadaannya (Soesarsono Wijandi, 1988 : 37). Kepercayaan diri merupakan landasan yang kuat untuk meningkatkan karsa dan karya seseorang. Sebaliknya setiap karya yang dihasilkan akan menumbuhkan dan meningkatkan kepercayaan diri. Kreativitas, inisiatif, kegairahan kerja dan ketekunan akan banyak mendrong seseorang untuk mencapai karya yang memberikan kepuasan batin, yang kemudian akan mempertebal kepercayaan diri. Pada gilirannya orang yang memiliki kepercayaan diri akan memiliki kemampuan untuk bekerja sendiri dalam mengorganisir, mengawasi dan meraihnya (“the ability of a single man to organize a business himself and could run, control and embrace”) (Soeparman Sumahamidjaja, 1997 : 12). Kunci keberhasilan dalam bisnis adalah untuk memahami diri sendiri. Oleh sebab itu, wirausaha yang sukses adalah wirausaha yang mandiri dan percaya diri (Yuyun Wirasasmita, 1994 :2).

(2) Berorientasi Tugas dan Hasil
Seseorang yang selalu mengutamkan tugas dan hasil, adalah orang yang selalu mengutamakan nilai-nilai motif berprestasi, berorientasi pada laba, ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras, mempunyai dorongan kuat, energik, dan berinisiatif. Berinisiatif artinya selalu ingin mencari dan memulai. Untuk memulai diperlukan niat dan tekad yang kuat, serta karsa yang besar. Sekali sukses atau berprestasi, maka sukses berikutnya akan menyusul, sehingga usahanya semakin maju dan semakin berkembang. Dalam kewirausahaan, peluang hanya diperoleh apabila ada inisiatif. Perilaku inisiatif ini biasanya diperoleh melalui pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun, dan pengembangannya diperoleh dengan cara disiplin diri, berpikir kritis, tanggap, bergairah, dan semangat berprestasi.

(3) Keberanian Mengambil Risiko
Kemauan dan kemampuan untuk mengambil risiko merupakan salah satu nilai utama dalam kewirausahaan. Wirausaha yang tidak mau mengambil risiko akan sukar memulai atau berinisiatif. Menurut Angelita S. Bajaro, “seorang wirausaha yang berani menanggung risiko adalah orang yang selalu ingin jadi pemenang dan memenangkan dengan cara yang baik” (Yuyun Wirasasmita,1994:2). Wirausaha adalah orang yang lebih menyukai usaha-usaha yang lebih menantang untuk mencapai kesuksesan atau kegagalan ketimbang usaha yang kurang menantang. Oleh sebab itu, wira usaha kurang menyukai risiko yang terlalu rendah atau yang teralalu tinggi. Risiko yang terlalu rendah akan memperoleh sukses yang relatif rendah. Sebaliknya, risiko yang tinggi kemungkinan memperoleh sukses yang tinggi, tetapi dengan kegagalan yang sangat tinggi. Oleh sebab itu, ia akan lebih menyukai risiko yang paling seimbang (moderat). Dengan demikian, keberanian untuk menanggung risiko yang menjadi nilai kewirausahaan adalah pengambilan risiko yang penuh dengan perhitungan dan realistik. Kepuasan yang besar diperoleh apabila berhasil dalam melaksanakan tugas-tugasnya secara realistik. Situasi risiko kecil dan situasi risiko tinggi dihindari karena sumber kepuasan tidak mungkin didapat pada masing-masing situasi tersebut. Artinya, wirausaha menyukai tantangan yang sukar namun dapat dicapai (Geoffrey G. Meredith,1996: 37). Wirausaha menghindari situasi risiko yang rendah karena tidak ada tantangan, dan menjauhi situasi risiko yang tinggi karena ingin berhasil. Dalam situasi risiko dan ketidakpastian inilah, wirausaha mengambil keputusan yang mengandung potensi kegagalan atau keberhasilan. Pada situasi ini, menurut Meredith (1996: 38), ada dua alternatif atau lebih yang harus dipilih, yaitu alternatif yang mengandung risiko dan alternatif yang konservatif. Pilihan terhadap risiko ini sangat tergantung pada :(1) Daya tarik setiap alternatif; (2) Kesediaan untuk rugi; (3) Kemungkinan relatif untuk sukses atau gagal. Untuk bisa memilih, sangat ditentukan oleh kemampuan wirausaha untuk mengambil risiko. Selanjutnya, kemampuan untuk mengambil risiko ditentukan oleh : (1) Keyakinan pada diri sendiri; (2) Kesediaan untuk menggunakan kemampuan dalam mencari peluang dan kemungkinan untuk memperoleh keuntungan; (3) Kemampuan untuk menilai situasi risiko secara realistis.
Diatas dikemukakan, bahwa pengambil risiko berkaitan dengan kepercayaan diri sendiri. Artinya, semakin besar keyakinan seseorang pada kemampuan sendiri, maka semakin besar keyakinan orang tersebut akan kesanggupan untuk mempengaruhi hasil dan keputusan, dan semakin besar pula kesediaan seseorang untuk mencoba apa yang menurut orang lain sebagai risiko (Meredith, 1996: 39). Jadi, pengambil risiko lebih menyukai tantangan dan peluang. Oleh sebab itu, pengambil risiko ditemukan pada orang-orang yang inovatif dan kreatif yang merupakan bagian terpenting dari perilaku kewirausahaan.

(4) Kepemimpinan
Seoranmg wirausaha yang berhasil selalu memiliki sifat kepemimpinan, kepeloporan, keteladanan. Ia selalu ingin tampil berbeda, lebih dulu, lebih menonjol. Dengan menggunakan kemampuan kreativitas dan keinovasiannya, ia selalu menampilkan barang dan jasa-jasa yang dihasilkannya dengan lebih cepat, lebih dulu dan segera berada dipasar. Ia selalu menampilkan produk dan jasa-jasa baru dan berbeda sehingga ia menjadi pelopor baik dalam proses produksi maupun pemasarannya. Ia selalu memanfaatkan perbedaan sebagai suatu yang menambah nilai. Karena itu, perbedaan bagi seseorang yang memiliki jiwa kewirausahaan merupakan sumber pembaharuan untuk menciptakan nilai. Ia selalu ingin bergaul untuk mencari peluang, terbuka untuk menerima kritik dan saran yang kemudian dijadikan peluang. Dalam karya dan karsanya, wirausaha selalu ingin tampil baru dan berbeda. Karya dan karsa yang berbeda akan dipandang sebagai sesuatu yang baru dan dijadikan peluang. Banyak hasil karya wirausaha berbeda dan dipandang baru, seperti komputer, mobil, minuman, dan produk makanan lainnya. Contoh sederhana adalah mobil produk Toyota Motor yang hampir setahun sekali menghasilkan produk mobil baru. Disebut produk mobil kijang baru karena tampilannya, interiornya, bentuk dan asesorisnya berbeda dengan yang sudah ada. Karena berbeda itulah, maka disebut baru. Akibatnya, nilai jual kijang baru lebih mahal daripada kijang produk lama. Inilah nilai tambah yang ciptakan oleh wirausaha yang memiliki kepeloporan.

(5) Berorientasi ke Masa Depan
Orang yang berorientasi kemasa depan adalah orang yang memiliki perspektif dan pandangan kemasa depan. Karena ia memiliki pandangan yang jauh kemasa depan, maka selalu berusaha untuk berkarsa dan berkarya. Kuncinya pada kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda dengan yang sudah ada sekarang. Meskipun dengan risiko yang mungkin terjadi, ia tetap untuk mencari peluang dan tantangan demi pembaharuan masa depan. Pandangan yang jauh kedepan, membuat wirausaha tidak cepat puas dengan karsa dan karya yang sudah ada sekarang. Oleh sebab itu, ia selalu mempersiapkannya dengan mencari suatu peluang.

(6) Korisinilan : Kreativitas dan Keinovasian
Nilai inovatif, kreatif dan fleksibel merupakan usnur-unsur keorisinilan seseorang. Wirausaha yang inovatif adalah orang yang kreatif dan yakin dengan adanya cara-cara baru yang lebih baik (Yuyun Wirasasmita, 1994: 7). Ciri-cirinya, adalah :
 Tidak pernah puas dengan cara-cara yang dilakukan saat ini, meskipun cara tersebut cukup baik;
 Selalu menuangkan imajinasi dalam pekerjaannya;
 Selalu ingin tampil berbeda atau selalu memanfaatkan perbedaan.

Hardvard’s Theodore Levitt mengemukakan definisi keinovasian dan kreativitas lebih mengarah pada konsep berpikir dan bertindak yang baru (think new and doing new). Kreativitas adalah “ability to develop new ideas and to discover new ways of looking at problem and opportunities”. Sedangkan “Innovation is ability to apply creative solutions to those problems and opportunities to enhance or to enrich people’s live”. Menurut Levitt, kreativitas adalah berpikir sesuatu yang baru (thingking new things) dan keinovasian adalah melakukan sesuatu yang baru (doing new things). Oleh karena itu, menurut Levitt, kewirausahaan adalah “thingking and oing new things or old thinks in new ways”. Kewirausahaan adalah berpikir dan bertindak sesuatu yang baru atau berpikir sesuatu yang lama dengan cara-cara baru. Hal ini sejalan dengan pendapat Soeparman Soemahamidjaja (1997 : 10) bahwa kewirausahaan adalah “ability to create the new and different”.
Zimmer (1996: 51), dalam bukunya “Entrepreneurship and The New Venture Formation”, mengungkapkan bahwa :
“Sometimes creativity involves generating something from nothing. However, creativity is more likely to resulth in collaborating on the present, in putting old things together in new ways, or in taking some thing away to create something simpler or better”
Dari definisi diatas, kreativitas mengandung pengertian, yaitu :
(a) Kreativitas adalah menciptakan sesuatu yang asalnya tidak ada.
(b) Hasil kerja masa kini untuk memperbaiki masa lalu dengan cara yang baru.
(c) Menghilangkan sesuatu untuk menciptakan sesuatu yang lebih sederhana dan lebih baik.
Menurut Zimmer, “Creativity ideas often arise when entrepreneurs look at something old and think something new or different”. Ide-ide kreativitas sering muncul ketika wirausaha melihat sesuatu yang lama dan berpikir sesuatu yang baru dan berbeda. Oleh karena itu, kreativitas adalah menciptakan sesuatu dari yang asalnya tidak ada (generating something from nothing).
Rahasia kewirausahaan dalam menciptakan nilai tambah barang dan jasa teretak pada penerapan kreativitas dan keinovasian untuk memecahkan permasalahan dan meraih peluang yang dihadapi setiap hari (“Applying creativity and innovation to solve the problems and to exploit opportunities that people face everyday”). Berinisiatif ialah mengerjakan sesuatu tanpa menunggu perintah. Kebiasaan berinisiatif akan melahirkan kreativitas (daya cipta) setelah dibiasakan berulang-ulang dan melahirkan inovasi.
Gerschenkron adalah seorang ahli yang menonjolkan keinovasian sebagai sarana kepribadian menuju kewirausahaan modern. Ia mengemukakan “…entrepreneur are people whose task is to make economic decisions” (Myron Weiner, 19966: 256-272). Wirausaha adalah orang yang bertugas memecahkan keputusan-keputusan ekonomi.
Pokok-pokok pikiran Gerschenkron diatas, pada dasarnya sejalan dengan pokok-pokok pikiran Everett E. Hagen (1962: 88) yang mengemukakan tentang ciri-ciri innovation personality yang kreatif sebagai berikut :
(1) Openers to experience, yaitu terbuka terhadap pengalaman. Ia selalu berminat dan tanggap terhadap gejala disekitar kehidupannya dan sadar bahwa yang didalamnya terdapat individu yang berperilaku sistematik.
(2) Creative imagination, yaitu kreatif dalam berimajinasi. Wirausaha memiliki kemampuan untuk bekerja dengan penuh imajinasi.
(3) Confidence and content in one’s own evaluation, yaitu cakap dan memiliki keyakinan atas penilaian dirinya dan teguh pendirian.
(4) Satisfaction in facing and attacking problems and in resolving confusion or inconsistency, yaitu selalu memiliki kepuasan dalam menghadapi dan memecahkan persoalan.
(5) Has a duty responsibility to achieve, yaitu memiliki tugas dan rasa tanggung jawab untuk berprestasi.
(6) Intelligence and energetic, yaitu penuh daya imajinasi dan memiliki kecedasan .

Berpikir Kreatif dalam Kewirausahaan
Hasil penelitian terhadap otak manusia, menunjukkan bahwa fungsi otak manusia dibagi dua bagian, yaitu fungsi otak sebelah kiri dan otak sebelah kanan. Setiap bagian otak memiliki fungsi spesifik dan menangkap informasi yang berbeda. Fungsi bagian otak yang satu lebih dominan daripada bagian yang lain. Fungsi otak sebelah kiri dikendalikan secara linear pada berpikir vertikal, sedangkan otak sebelah kanan lebih mengandalkan pada berfikir lateral. Otak sebelah kiri berperan menangkal logika dan simbol-simbol sedangkan sebelah kanan lebih menangkap hal yang bersifat intuitif dan emosional. Otak sebelah kirilah yang menggerakkan berpikir lateral dan meletakkannnya pada jiwa proses kreatif.
Menurut Zimmer (1996), untuk mengembangkan keterampilan berfikir, seseorang menggunakan otak sebelah kanan. Sedangkan untuk belajar mengembangkan keterampilan berpikir digunakan otak sebelah kiri, ciri-cirinya :
 Selalu bertanya, “Apa ada cara yang lebih baik?”.
 Selalu menantang kebiasaan, tradisi dan kebiasaan rutin.
 Berefleksi/merenungkan/memikirkan, berpikir dalam.
 Berani main mental, mencoba untuk melihat masalah dari perspektif yang berbeda.
 Menyadari kemugkinan banyak jawaban ketimbang satu jawaban yang benar.
 Melihat kegagalan dan kesalahan hanya sebagai jalan untuk mencapai sukses.
 Mengkorelasikan ide-ide yang masih samar terhadap masalah untuk menghasilkan pemecahan inovatif.
 Memiliki keterampilan helikopter (“helicopters skills”), yaitu kemampuan untuk bangkit diatas kebiasaan rutin dan melihat permasalahan dari persepktif yang lebih luas kemudian memfokuskannya pada kebutuhan untuk berubah.
Dengan menggunakan otak sebelah kiri, menurut Zimmer (1996: 76) ada tujuh langkah proses kreatif;
Tahap 1: Persiapan (Preparation). Preparasi menyangkut kesiapan kita untuk berpikir kreatif. Persiapan berpikir kreatif dilakukan dalam bentuk pendidikan formal pengalaman, magang, dan pengalaman belajar lainnya. Pelatihan merupakan landasan untuk menumuhkan kreativitas dan keinovasian. Bagaimana kita dapat memperbaiki pikiran kita agar berpikir kreatif. Zimmer mengemukakan tujuh langkah untuk memperbaiki pikiran kita utnuk berpikir kreatif, yaitu :
• Hindari sikap untuk tidak belajar. Setiap merupakan peluang untuk belajar.
• Belajar banyak. Jangan belajar terbatas pada satu keahlian yang kita miliki saja. Banyak inovasi yang diperoleh dari bidang ilmu lain.
• Diskusikan ide-ide kita dengan orang lain.
• Himpun artikel-artikel yang penting.
• Temui orang profesional atau asosiasi dagang, dan pelajari cara mereka memecahkan personal.
• Gunakan waktu untuk belajar sesuatu dari negara lain.
• Kembangkan keterampilan menyimak gagasan orang lain.

Tahap 2: Penyeledikan (Investigation). Dalam penyelidikan diperlukan individu yang dapat mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang masalah atau keputusan. Seseorang dapat mengembangkan suatu pemahaman tentang masalah atau keputusan melalui penyelidikan. Untuk menciptakan konsep ide-ide baru tentang suatu bidang tertentu, seseorang pertama-tama harus mempelajari masalah dan memahami komponen-komponen dasarnya. Misalnya, seseorang pedagang tidak bisa menghasilkan ide-ide barunya, karena ia tidak mengetahui konsep-konsep atau komponen-komponen dsaar tentang perdagangan.
Tahap 3: Transformasi (Transformation). Yaitu menyangkut kesamaan dan perbedaan pandangan diantara informasi yang terkumpul (Involves viewing the similarities and the differences among a the information collected). Transformasi, ialah mengidentifikasi persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang ada tentang informasi yang terkumpul. Dalam fase ini diperlukan dua tipe berpikir, yaitu tentang berpikir konvergen dan divergen. Berpikir konvergen (convergent thinking) adalah kemampuan untuk melihat persamaan dan koneksitas diantara data dan kejadian yang bermacam-macam. Sedangkan berpikir divergen (divergent thinking), adalah kemampuan untuk melihat perbedaan-perbedaan diantara data dan kejadian-kejadian yang beranekaragam.
Ada beberapa cara untuk meningkatkan kemampuan mentransformasi informasi kedalam ide-ide, yaitu yang dapat dilakukan sebagai berikut :
 Evaluasi bagian-bagian situasi beberapa saat, coba ambil gambaran luasnya.
 Susun kembali unsur-unsur situasi itu. Disamping melihat komponen-komponen issu dalam susunan dan perspektif yang berbeda-beda, kita harus mampu melihat perbedaan dan persamaan secara cermat.
 Sebelum melihat satu pendekatan khusus terhadap situasi tertentu, ingat bahwa dengan beberapa pendekatan mungkin keberhasilan akan dicapai.
 Lawan godaan yang membuat penilaian kita tergesa-gesa dalam memecahkan persoalan atau mencai peluang.

Tahap 4: Penetapasan (Incubation). Yaitu menyiapkan pikiran bahwa sadar untuk merenungkan informasi yang terkumpul (Allows the subconscious mind to reflect on the information collected). Pikiran bahwa sadar memerlukan waktu untuk merefleksikan informasi.


Untuk mempertingi fase inkubasi dalam proses kreatif dapat dilakukan dengan cara :
 Menjauhkan diri dari situasi. Melakukan sesuatu yang tidak terkait dengan masalah atau peluang secara keseluruhan sehingga kita dapat berpikir bawah sadar.
 Sediakan waktu untuk menghayal. Meskipun menghayal seolah-olah melakukan sesuatu yang tidak berguna, akan tetapi hayalan merupakan bagian terpenting dari proses kreatifitas.
 Rileks dan bermain secara teratur. Anda dapat berpikir dengan ide-ide besar pada waktu bermain atau santai. Ide-ide besar sering muncul pada waktu latihan golf, main basket, main bole, dikebun/taman atau ditempat tidur.
 Berhayal tentang masalah atau peluang. Berpikir berbagai masalah sebelum jatuh tidur merupakan cara efektif untuk mendorong pikiran Anda bekerja waktu tidur.
 Kejarlah masalah atau peluang meskipun dalam suatu lingkungan yang berbeda dimana saja.

Tahap 5: Penerapangan (Illumination). Iluminasi akan muncul pada tahapan inkubasi, yaitu ketika ada pemecahan spontan yang menyebabkan adanya titik terang yang terus (Occurs at some point the incubation stage when a spontaneous breakthrough cause “the light bulb to go on). Pada tahapan ini, semua tahapan sebelumnya muncul bersama-sama menghasilkan kreativitas ide-ide inovatif.

Tahap 6: Pengujian (Vertification). Menyangkut ketepatan ide-ide seakurat mungkin dan semanfaat mungkin (Involves validating the idea as accurate and useful). Validasi ide-ide yang tepat dan berguna dapat dilakukan pada masa percobaan, proses simulasi, test pemasaran, membangun pilot projek, membangun prototipe, dan aktivitas lain yang dirancang untuk memverifikasi ide-ide baru yang akan diimplementasikan.

Tahap 7: Implementasi (Implementation). Mentransformasikan ide-ide kedalam praktik bisnis (Involves transforming the idea into a business reality).
Roger von Oech dalam bukunya “Whack on the side of the Head”, mengidentifikasi 10 kunci mental dari kreativitas (“mental lock” of creativity) atau hambatan-hambatan kreativitas, yang meliputi :
(1) Searching for the one “right” answer, yaitu berusaha untuk menemukan suatu asumsi hanya satu jawaban yang benar atau satu pemecahan yang benar dalam memecahkan suatu permasalahan. Ia tidak terbiasa dengan beberapa jawaban atau pandangan yang berbeda.
(2) Focusing on “being logical”, yaitu terfokus pada berpikir logika tidak bebas menggunakan berpikir nonlogika khususnya dalam berimajinasi berpikir kreatif. Padahal dalam berkreasi (intuisi dari Von Oech) kita dapat berpikir bebas tentang khususnya yang berbeda dan bebas pula menggunakan berpikir non-logika khususnya dalam fase berpikir kreatif (to thing something different and to freely use non logical thinking, especially in the imaginative phase of the creative process).
(3) Blindly following the rules, yaitu berlindung pada aturan yang berlaku (kaku). Kreativitas sangat tergantung pada kemampuan untuk selalu tidak kaku pada aturan, sehingga dapat melihat cara-cara baru untuk mengerjakan sesuatu (“new ways of doing things”).
(4) Constantly being practical. Yaitu terikat pada kehidupan praktis semata yang membatasi ide-ide kreatif.
(5) Viewing play as frivolous. Memandang bermain sebagai sesuatu yang tidak karuan. Padahal, anak-anak dapat belajar dari bermain, yaitu dengan cara menciptakan cara-cara baru dalam memandang sesuatu yang lama dan belajar tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan (“create new ways of looking at old things and learn what works and what doesn’t”).
Wirausaha bisa belajar dengan mencoba mendekatan baru dan penemuan baru. Kreativitas dapat diciptakan apabila wirausaha mau belajar dari bermain. Seseorang yang memandang permainan sebagai hal yang sia-sia cenderung membatasi berpikir kreatif.
(6) Becoming evenly specialized. Yaitu terlalu spesialisasi. Spesialisasi membatasi kemampuan untuk melihat masalah lain. Sedangkan orang yang berpikir kreatif cenderung bersifat ekploratif dan selalu mencari ide-ide diluar bidang spesialisasi.
(7) Avoiding ambiguity. Menghindari pengulangan merupakan hambatan untuk berpikir kreatif. Padahal kemenduaan (ambiguity) bisa menjadi kekuatan yang mendorong kreativitas, dan mendorong berpikir sesuatu yang berbeda (“to think smoothing different”). Karena itu, menghindari kenetralan merupakan hambatan berpikir kreatif.
(8) Fearing looking foolish. Berpikir kreatif bukan tempatnya bagi orang kompromistis (berpikir kompromi). Ide-ide baru jarang muncul dalam lingkungan yang kompromistis. Orang yang cenderung kompromitis tidak senang melihat orang yang nekad (foolish). Takut untuk berbuat nekad adalah hambatan untuk berpikir kreatif.
(9) Fearing mistakes and failure (takut salah dan kegagalan). Orang kreatif menyadari bahwa mencoba sesuatu yang baru pasti membawa kegagalan. Namun demikian, mereka melihat kegagalan bukan sesuatu yang terakhir, tetapi merupakan pengalaman belajar bagaimana cara untuk meraih sukses. Thomas Edison misalnya, sebelum meraih sukses untuk membuat bola lampu agar menyala, telah melakukan eksperimen sebanyak 1.800 cara. Seperti halnya Thomas Edison, wirausaha dapat belajar dari kegagalan. Belajar dari kegagalan merupakan bagian terpenting dari proses berpikir kreatif. Kuncinya, adalah kegagalan untuk meraih sukses. Oleh karena itu, takut terhadap kegagalan merupakan hambatan untuk berpikir kreatif.
(10) Believing that “I’m not creative”. Setiap orang berpotensi untuk kreatif. Takut pada ketidakmampuan untuk berbuat kreatif merupakan hambatan berpikir kreatif.
Untuk memotivasi para karyawan agar memiliki kreativitas, Zimmer (1996: 76) mengemukakan beberapa cara:
(1) Expecting creativity. Wirausaha berharapan memiliki kreativitas. Salah satu cara yang terbaik untuk mendorong kreativitas adalah memberi kewenangan kepada karyawan untuk berkreasi.
(2) Expecting and tolerating failure, yaitu berharapan dan bersabar menghadapi kegagalan.
Ide-ide kreatif akan menghasilkan keberhasilan atau kegagalan. Orang yang tidak pernah menemui kegagalan bukan orang kreatif.
(3) Encouraging curiosity. Berbesar hati jika menemukan kegagalan, artinya kegagalan jangan dipandang sebagai sesuatu yang aneh.
(4) Viewing problems as challenges. Yaitu memandang kegagalan sebagai tantangan. Setiap kegagalan memberikan peluang untuk berinovasi.
(5) Providing creativity training. Yaitu menyediakan pelatihan berkreativitas. Setiap seseorang memiliki kapasitas kreatif. Untuk mengembangkannya diperlukan pelatihan. Pelatihan melalui buku, seminar, workshop dan pertemuan kreativitasnya.
(6) Providing support. Yaitu memberikan dorongan dan bantuan, berupa alat dan sumber daya yang diperlukan untuk berkreasi, terutama waktu yang cukup berkreasi.
(7) Rewarding crerativity. Yaitu memberikan hadiah bagi seseorang yang kreatif, misalnya uang, penghargaan dan hadian lainnya.

(8) Modeling creativity. Yaitu memberi contoh kreaif. Untuk mendorong karyawan lebih kreatif, harus diciptakan lingkungan yang mendorong kreativitas.

Dalam menghadapi persaingan yang semakin kompleks dan ekonomi global, menurut Zimmer (1996; 53), kreativitas tidak hanya penting untuk menciptakan keunggulan kompetetif, akan tetapi juga sangat penting bagi kesinambungan perusahaan (survive). Artinya, bahwa dalam menghadapi tantangan global, diperlukan sumber daya manusia kreatif dan inovatif atau berjiwa kewirausahaan. Wirausahalah yang bisa menciptakan nilai tambah dan keunggulan. Nilai tambah tersebut diciptakan melalui kreativitas dan keinovasian, atau “thinking new thing and doing new thing or create the new and different”..
Zimmerer mengemukakan beberapa kaidah atau kebiasaan kewirausahaan (entrepreneur “rules to live by”) yaitu :
 Create, innovate, and activate, yaitu ciptakan, temukan dan aktifkan. Wirausaha selalu memimpikan ide-ide baru, dan selalu bertanya “apa mungkin tidak “ dan menggunakan inovasinya kedalam kegiatan praktis.
 Always be on the lookout for new opportunities, yaitu selalu mencari peluang baru. Wirausaha harus selalu mencari peluang baru atau menemukan cara baru untuk menciptakan peluang.
 Keep it simple, yaitu berpikir sederhana. Wirausaha selalu mengharapkan umpan balik sesegera mungkin, dan berusaha dengan cara yang tidak rumit.
 Try it, fix it, do itu, yaitu selalu mencoba, memperbaiki, dan melakukannya. Wirausaha berorientasi pada tindakan. Bila ada ide, wirausaha akan segera mengerjakannya.
 Shoot for the top, yaitu selalu mengejar yang terbaik, terunggul dan ingin cepat mencapai sasaran. Wirausaha tidak pernah segan, mereka selalu bermimpi besar. Meskipun tidak selalu benar, mimpi besar adalah sumber penting untuk inovasi dan visi.
 Don’t be ashamed to starts mall, yaitu jangan malu untuk dari hal-hal yang kecil. Banyak peruashaan besar yang berhasil karena dimulai dari usaha kecil.
 Don’t fear failure: learn form it, yaitu jangan takut gagal, belajarlah dari kegagalan. Wirausaha harus tahu bahwa inovasi yang terbesar berasal dari kegagalan.
 Never give up, yaitu tidak pernah menyerah atau berhenti karena wirausaha bukan penyerah.
 Go for it, yaitu untuk terus mengejar apa yang diinginkannya. Karena pantang menyerah, maka ia selalu mengejar apa yang belum dicapainya. Sebelum tujuannya tercapai, maka ia akan mengejarnya. Ia pantang menyerah dan tidak putus asa serta terus mengejarnya.

Komentar

Postingan Populer