Air Mata

Ketika saya mendengarkan sebuah petikan gitar, hati ini tergetar sebab
petikan itu melukiskan suatu kesedihan. Saya intip lembaran partitur dan
bertanya dalam hati, "mengapa lagu itu memiliki irama yang sedih?" Oh, ternyata
judulnya "Lacrima". Penasaran akan judul tersebut, kucari tahu lagi maknanya
dan artinya adalah air mata. Air mata memang memiliki banyak konotasi. Orang
beranggapan bahwa air mata senantiasa berkorelasi dengan kesedihan dan
penderitaan. Jawabnya, "Belum tentu!!"

Ada orang yang memiliki air mata buaya, yang pura-pura menangis untuk
minta belas kasihan. Tetapi juga ada air mata kegembiraan. Ketika seseorang
mengalami keberhasilan maupun lepas dari bahaya, ia mengeluarkan air mata. Ini
adalah air mata kebahagiaan dan syukur. Air mata pun memiliki pelbagai kisah.
Kisah air mata yang mengenaskan ada dalam kisah Mahabharata, tulisan C.
Rajagopalachari. Tidak ada orang yang tahu bahwa Karna yang sementara beradu
keahlian memanah untuk saling membunuh itu adalah putra Kunthi. Ibu mana yang
tidak sedih menyaksikan kedua anaknya perang tanding dengan penuh kedengkian.
Demi martabatnya sebagai ibu dari para pangeran, Kunthi tidak mengakui Karna di
muka umum sebagai putranya. Air mata Kunthi tidak boleh keluar, yang semestinya
mengalir deras. Inilah sebuah kesedihan yang luar biasa. Seandainya Kunthi boleh
memilih, tentunya dirinya ingin menangis sepuas-puasnya memeluk Karna, putranya
yang pada gilirannya akan rela jika anaknya itu tewas dalam medan laga.

Barangkali kita pernah mendengar kata-kata, "Anak laki-laki dilarang
menangis." Tidak mengherankan jika seorang anak laki-laki yang terjatuh dan
menangis, sang ibu akan berkata, "Jangan menangis nak!, seperti anak perempuan
saja." Untuk urusan sang anak yang dibina untuk menjadi anak yang tidak boleh
menangis, saya menyaksikan film yang berjudul "Spartan". Film ini dengan
terus-terang mengukuhkan bahwa dunia kaum laki-laki adalah kekerasan, pantang
menyerah dan yang terpenting adalah tidak boleh air mata mengalir dari pelupuk
matanya. Sadis memang!!

Tetesan air mata bukan monopoli kaum hawa saja. Kisah-kisah kepahlawanan
atau wiracerita tidak menyembunyikan kaum laki-laki, bahkan seorang raja agung
yang bernama Raja Priamus pun mengeluarkan air mata. Saat sang Raja menyaksikan
putranya sendiri yang bernama Hektor, mati dibunuh secara keji oleh Achilles,
Sang Raja mengeluarkan air mata. Kisah ini bisa dibaca dalam buku klasik yang
berjudul "Iliad" tulisan Homerus (± abad ke VIII SM). Atau Durna, seorang guru
para pangeran Kurawa dan Pandawa, menangis sehabis-habisnya tatkala mendengar
kematian putranya Aswatama - meskipun sebenarnya yang mati pada waktu itu adalah
Estitama, nama seekor gajah. Menangisnya sang Guru Durna itulah yang dipakai
Kresna, ahli dan strategi perang untuk membunuhnya. Air mata yang mengalir itu
membuat emosi Durna tidak terkendali dan pada waktu itu juga Arjuna melancarkan
serangan panahnya dan matilah dia! (Bdk. Lakon wayang Durna Gugur). Yesus,
seperti ditulis oleh Lukas amat sedih dan menangisi kota Yerusalem. Dan ketika
Yesus telah dekat dan melihat kota itu, ia menangisinya. Katanya, "Wahai, betapa
baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai
sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu (Luk. 19: 41). Saat
ini, kita bisa menyaksikan di kota Yerusalem berdiri megah sebuah gereja yang
bernama Gereja "Dominus Flevit", artinya Gereja Tuhan Menangis. Dalam imajinasi,
kita bisa membayangkan, tentunya air mata mengalir dengan derasnya dari mata
Yesus. Kesedihan Yesus bisa dipahami. Yesus begitu mencintai umat manusia dan
merindukan keselamatan bagi umat-Nya.

Pepatah Latin yang berbunyi, "Lacrima nihil citius arescit" yang berarti
tidak ada yang lebih cepat mengering daripada air mata, mengajak kita untuk
menyadari bahwa betapapun orang menangis dengan bercucuran air mata, cepat atau
lambat, akan mengering dan kesedihan pun terobati. Entah benar, entah salah
seseorang yang memiliki beban berat dalam hidupnya tidak ada senjata lain
kecuali menangis. Dan setelah air mata keluar, rasa legalah yang didapat dalam
hati.

Setelah menulis beberapa artikel di depan Komputer, air mataku jatuh
berlinang. Saya keluar dan melihat taman yang hijau di kebun Skolastikat dan
dengan segera air mata pun mengering. Memang benar kata pepatah Latin tadi,
bahwa tidak ada yang lebih cepat mengering daripada air mata.

Komentar

Postingan Populer