Hei Calon Intelektual, Kita Masih Banyak Pekerjaan!
Dian Purba*
Telinga teman-teman kita yang bentrok di USU itu
begitu tipis bagaikan kulit bawang. Saling ejek di antara mereka, sesama warga
USU, mahasiswa pertanian dengan mahasiswa teknik, berakhir sangat memalukan.
Batu terbang, kayu melayang. Sepeda motor terbakar. Mahasiswi itu pun
berdarah-darah. Peristiwa ini dihimpit dua perayaan sejarah penting: Sumpah
Pemuda dan Hari Pahlawan. Begitulah, di awal tulisan ini kita menarik
benangnya: mereka bukan pemuda yang pahlawan.
USU itu diidam-idamkan ribuan siswa SMA seperti
mahasiswa pribumi jaman prakemerdekaan mendambakan bersekolah di HBS. Sukarno,
ambil misal, mengerti betul keberuntungannya bisa berbaur dengan anak-anak
Belanda berambut jagung itu. Sukarno maklum adanya mengkondisikan diri di
tengah-tengah murid yang semenjak bayi sudah tahu meludahi pribumi, karena
itulah pelajaran pertama yang diberikan orangtua mereka begitu mereka lahir.
Karena itu pula Sukarno tidak menjadi jumawa. Dia berasal dari negeri yang kaya
alamnya tapi kaumnya lembek seperti agar-agar dengan nyali kecil, lemah seperti
katak dan lembut seperti kapuk. Dan, kata Sukarno, Kami menjadi satu bangsa
yang hanya dapat bicara pelan, Ya, Tuan. Karena itulah presiden pertama kita
itu menghabiskan seluruh waktunya untuk membaca sementara teman-temannya
bermain-main. Aku mengejar ilmu pengetahuan di luar yang diberikan di
sekolah.
Mahasiswa morbid
Minke di Jejak Langkah diospek teman-temannya
di asrama STOVIA, sekolah untuk pendidikan dokter pribumi, di hari pertama dia
menjejakkan kaki. Dengan kopor lusuhnya dia memasuki kamarnya. Tiba-tiba,
Lihat ini! Hanya anak dusun busuk berkopor lebih buruk semacam ini, teriak
seorang peranakan Eropa. Kopor itu pun ditendang. Minke kemudian digiring ke
sana ke mari. Pakaiannya dipreteli satu persatu samapi dia telanjang bulat.
Minke marah. Jadi ini macam peradaban golongan terpelajar? Ini ajaran nenek
moyang kalian? Di depan orang kampung berlagak intelektual. Orang kampung pun
tak sebiadab ini.
Tawuran gelombang kedua di USU itu melengkapi
data betapa mahasiswa mempunyai hobi baru. Mereka begitu mengakrabi batu,
mendoyani kayu. Mulai Maret tahun ini hingga Oktober paling tidak terjadi tujuh
kali tawuran di berbagai kampus. Tawuran di USU sangat mirip dengan yang
rekan mereka lakukan di Universitas Negeri Gorontalo di awal Oktober silam.
Mereka bentrok dengan saudara kandung mereka sendiri. Tawuran gelombang kedua
itu memahatkan fakta baru ke kita: tak semua mahasiswa itu mahasiswa. Macam
begitukah peradaban golongan terpelajar? Adakah ajaran leluhur kita yang
membenarkan itu?
Teman-teman kita itu, boleh jadi juga kita,
mengimitasi pejabat-pejabat kita yang morbid, yang tampak cantik di luar tapi
berpenyakit di dalam. Kita sudah lama mengenyahkan pertanyaan: siapa mahasiswa
sesungguhnya? Ah, kalimat itu sudah terlalu klise. Tapi bukankah yang klise
kerap cukup ampuh menantang jaman kekinian. Sukarno sadar tidak semua pribumi
bisa mengekori jejaknya. Beruntung dia berayahkan seseorang yang tidak terlalu
miskin dan juga tidak termasuk kaya. Saudara-saudara kita mahasiswa pertanian
dan teknik itu?
Berbincang-bincang dengan teman dari USU,
mahasiswa pertanian dan teknik mayoritas berasal dari kampung. Dan semakin
menghujatlah akal sehatku: berasal dari kampung bukan juga berarti kampungan,
kalau kata itu kita analogikan untuk sesuatu yang barbar. Mahasiswa kampung tak
sama dengan mahasiswa kampungan. Ada apa ini?
Saya lantas teringat tulisan Emha Ainun Nadjib.
Bapak, kenapa dengan sekolah dan kuliah rasanya saya tidak diajak betul untuk
berpijak dan menjelajahi realitas hidup kita sebenarnya? Realitas hidup yang
melahirkan saya dan teman-teman sekelas saya? Kenapa dengan sekolah saya hanya
terdorong untuk ingin menjadi birokrat? Kenapa sekolah seperti mengakomodasi
juga hasrat-hasrat feodalistis untuk menjadi priyayi, penghamba status, pemimpi
kedudukan? Kenapa sehabis merantau sekolah di kota saya merasa mundur dan turun
tingkat kalau pulang ke desa?
Jadilah mereka mahasiswa morbid. Mahasiswa yang
tampak menawan menenteng buku-buku tebal namun abai dengan sekelilingnya.
Mahasiswa yang memilih batu dan kayu memecahkan masalah. Dan ini efek langsung
dari pemerintah yang mempekerjakan ahli-ahli kurikulum dari kelas menengah yang
abai dengan kepentingan kelas bawah. Kurikulum itulah yang mencabut seseorang,
tindak dan idealismenya, dari akar sosialnya. Mahasiswa sekarang adalah produk
dari seleksi yang mengutamakan multiple choice sebagai jalan
satu-satunya penentu kebenaran. Model ujian yang mengharamkan pengucuran
ide-ide dalam bentuk karya tulis. Dengan demikian, mereka dididik untuk tidak
kreatif dan menjadi berpikiran pendek, dan lanjutannya: bersumbu pendek.
Namun, akan begini-begini sajakah kita? Pantaskah
kita melempari batu ke saudara kita saat bangsa ini sedang dijarah
garong-garong? Pantaskah kita asyik tawuran saat presiden kita lebih memilih
meluncurkan album keempatnya sementara saudara kita di Papua dijadikan kacung
oleh PT Freeport sehingga mereka tampak seperti pendatang yang miskin di
tanahnya sendiri? Pantaskah kita tak bersyukur dengan kemahasiswaan kita saat
banyak sekali saudara kita di seluruh penjuru negeri takkan pernah merasakan
dididik seorang doktor? Bagi orang inteligen, kata Minke, orang cerdasbukan
hanya berilmu dan berpengetahuantak mungkin terlepas perhatiannya dari
masalah-masalah kehidupan, apalagi kehidupan yang vital, memikirkannya,
memecahkannya, dan menyumbangkan pikirannya.
Telinga teman-teman kita yang bentrok di USU itu
begitu tipis bagaikan kulit bawang. Saling ejek di antara mereka, sesama warga
USU, mahasiswa pertanian dengan mahasiswa teknik, berakhir sangat memalukan.
Batu terbang, kayu melayang. Sepeda motor terbakar. Mahasiswi itu pun
berdarah-darah. Peristiwa ini dihimpit dua perayaan sejarah penting: Sumpah
Pemuda dan Hari Pahlawan. Begitulah, di awal tulisan ini kita menarik
benangnya: mereka bukan pemuda yang pahlawan.
USU itu diidam-idamkan ribuan siswa SMA seperti
mahasiswa pribumi jaman prakemerdekaan mendambakan bersekolah di HBS. Sukarno,
ambil misal, mengerti betul keberuntungannya bisa berbaur dengan anak-anak
Belanda berambut jagung itu. Sukarno maklum adanya mengkondisikan diri di
tengah-tengah murid yang semenjak bayi sudah tahu meludahi pribumi, karena
itulah pelajaran pertama yang diberikan orangtua mereka begitu mereka lahir.
Karena itu pula Sukarno tidak menjadi jumawa. Dia berasal dari negeri yang kaya
alamnya tapi kaumnya lembek seperti agar-agar dengan nyali kecil, lemah seperti
katak dan lembut seperti kapuk. Dan, kata Sukarno, Kami menjadi satu bangsa
yang hanya dapat bicara pelan, Ya, Tuan. Karena itulah presiden pertama kita
itu menghabiskan seluruh waktunya untuk membaca sementara teman-temannya
bermain-main. Aku mengejar ilmu pengetahuan di luar yang diberikan di
sekolah.
Mahasiswa morbid
Minke di Jejak Langkah diospek teman-temannya
di asrama STOVIA, sekolah untuk pendidikan dokter pribumi, di hari pertama dia
menjejakkan kaki. Dengan kopor lusuhnya dia memasuki kamarnya. Tiba-tiba,
Lihat ini! Hanya anak dusun busuk berkopor lebih buruk semacam ini, teriak
seorang peranakan Eropa. Kopor itu pun ditendang. Minke kemudian digiring ke
sana ke mari. Pakaiannya dipreteli satu persatu samapi dia telanjang bulat.
Minke marah. Jadi ini macam peradaban golongan terpelajar? Ini ajaran nenek
moyang kalian? Di depan orang kampung berlagak intelektual. Orang kampung pun
tak sebiadab ini.
Tawuran gelombang kedua di USU itu melengkapi
data betapa mahasiswa mempunyai hobi baru. Mereka begitu mengakrabi batu,
mendoyani kayu. Mulai Maret tahun ini hingga Oktober paling tidak terjadi tujuh
kali tawuran di berbagai kampus. Tawuran di USU sangat mirip dengan yang
rekan mereka lakukan di Universitas Negeri Gorontalo di awal Oktober silam.
Mereka bentrok dengan saudara kandung mereka sendiri. Tawuran gelombang kedua
itu memahatkan fakta baru ke kita: tak semua mahasiswa itu mahasiswa. Macam
begitukah peradaban golongan terpelajar? Adakah ajaran leluhur kita yang
membenarkan itu?
Teman-teman kita itu, boleh jadi juga kita,
mengimitasi pejabat-pejabat kita yang morbid, yang tampak cantik di luar tapi
berpenyakit di dalam. Kita sudah lama mengenyahkan pertanyaan: siapa mahasiswa
sesungguhnya? Ah, kalimat itu sudah terlalu klise. Tapi bukankah yang klise
kerap cukup ampuh menantang jaman kekinian. Sukarno sadar tidak semua pribumi
bisa mengekori jejaknya. Beruntung dia berayahkan seseorang yang tidak terlalu
miskin dan juga tidak termasuk kaya. Saudara-saudara kita mahasiswa pertanian
dan teknik itu?
Berbincang-bincang dengan teman dari USU,
mahasiswa pertanian dan teknik mayoritas berasal dari kampung. Dan semakin
menghujatlah akal sehatku: berasal dari kampung bukan juga berarti kampungan,
kalau kata itu kita analogikan untuk sesuatu yang barbar. Mahasiswa kampung tak
sama dengan mahasiswa kampungan. Ada apa ini?
Saya lantas teringat tulisan Emha Ainun Nadjib.
Bapak, kenapa dengan sekolah dan kuliah rasanya saya tidak diajak betul untuk
berpijak dan menjelajahi realitas hidup kita sebenarnya? Realitas hidup yang
melahirkan saya dan teman-teman sekelas saya? Kenapa dengan sekolah saya hanya
terdorong untuk ingin menjadi birokrat? Kenapa sekolah seperti mengakomodasi
juga hasrat-hasrat feodalistis untuk menjadi priyayi, penghamba status, pemimpi
kedudukan? Kenapa sehabis merantau sekolah di kota saya merasa mundur dan turun
tingkat kalau pulang ke desa?
Jadilah mereka mahasiswa morbid. Mahasiswa yang
tampak menawan menenteng buku-buku tebal namun abai dengan sekelilingnya.
Mahasiswa yang memilih batu dan kayu memecahkan masalah. Dan ini efek langsung
dari pemerintah yang mempekerjakan ahli-ahli kurikulum dari kelas menengah yang
abai dengan kepentingan kelas bawah. Kurikulum itulah yang mencabut seseorang,
tindak dan idealismenya, dari akar sosialnya. Mahasiswa sekarang adalah produk
dari seleksi yang mengutamakan multiple choice sebagai jalan
satu-satunya penentu kebenaran. Model ujian yang mengharamkan pengucuran
ide-ide dalam bentuk karya tulis. Dengan demikian, mereka dididik untuk tidak
kreatif dan menjadi berpikiran pendek, dan lanjutannya: bersumbu pendek.
Namun, akan begini-begini sajakah kita? Pantaskah
kita melempari batu ke saudara kita saat bangsa ini sedang dijarah
garong-garong? Pantaskah kita asyik tawuran saat presiden kita lebih memilih
meluncurkan album keempatnya sementara saudara kita di Papua dijadikan kacung
oleh PT Freeport sehingga mereka tampak seperti pendatang yang miskin di
tanahnya sendiri? Pantaskah kita tak bersyukur dengan kemahasiswaan kita saat
banyak sekali saudara kita di seluruh penjuru negeri takkan pernah merasakan
dididik seorang doktor? Bagi orang inteligen, kata Minke, orang cerdasbukan
hanya berilmu dan berpengetahuantak mungkin terlepas perhatiannya dari
masalah-masalah kehidupan, apalagi kehidupan yang vital, memikirkannya,
memecahkannya, dan menyumbangkan pikirannya.
Komentar
Posting Komentar