Hal Berdoa

Apa yang Yesus Ajarkan tentang Doa (Yohanes 17)


- Pengajaran Doa
Pada saat Yesus selesai berdoa, murid-murid-Nya berkata kepada-Nya, "Tuhan,
ajarlah kami berdoa, sama seperti yang diajarkan Yohanes kepada
murid-muridnya." (Lukas 11:1). Jelaslah bagi kita bahwa para murid-murid itu
memiliki perasaan yang sama dengan kita, yaitu merasa perlu menjadi lebih
dekat lagi dengan Allah dan bisa bersekutu dengan-Nya.

Jauh dalam hati kita, kita tahu bahwa kelemahan pribadi kita adalah
ekspresi dari kelemahan hubungan kita dengan Allah. Kita juga tahu bahwa
kekuatan, kedamaian, kelembutan, dan kesenangan apa pun yang kita miliki,
semuanya itu berasal dari Allah. Kita juga akan meminta kepada Allah agar
mengajar kita berdoa.

Kita diyakinkan bahwa Yesus dapat mengajar kita berdoa, karena
kehidupan-Nya sendiri merupakan contoh dalam hubungan-Nya dengan Allah yang
sempurna yang pernah dilihat dunia. Meskipun Ia adalah inkarnasi dari Anak
Allah, Ia tidak hidup sendiri. Ia tergantung kepada Bapa-Nya. Ia berkata
bahwa Ia tidak hidup sendiri, tetapi Ia sangat dekat dengan Bapa-Nya
(Yohanes 8:16). Kesaksian-Nya, mujizat- Nya, dan ajaran-Nya berasal dari
Allah. Ia datang untuk mengerjakan kehendak Bapa-Nya. Untuk semua dosa yang
ada di dunia ini, Ia berdoa, "Bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah
yang terjadi." (Lukas 22:42).

Kita juga tahu bahwa Ia mengkritik dengan tajam para pemimpin agama pada
masa-Nya karena mereka telah mengabaikan doa. Dia datang ke Yerusalem dan
mendapati rumah ibadah telah berubah menjadi tempat penukaran uang. Mengusir
pedagang dan binatang yang ada di dalamnya dan membalikkan meja, Ia berkata,
"Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang
penyamun." (Lukas 19:46). Kritik tersebut benar-benar tajam. Rumah ibadah
yang sangat indah, dibangun dengan biaya dan tenaga yang mahal,
dipersembahkan sebagai simbol kemuliaan Allah dan hukum-Nya, berubah menjadi
tempat untuk jual beli, bahkan menjadi sarang penyamun! Bagaimana dengan
kita? Apakah waktu kita untuk menyembah Tuhan kita gunakan untuk berdoa?
Apakah kita kadang-kadang secara tak sengaja menggunakan rumah Tuhan sebagai
tempat untuk mengagungkan manusia dan untuk sementara melupakan Tuhan?
Marilah kita meminta seperti yang dilakukan oleh para murid, "Tuhan,
ajarilah kami berdoa."

*CONTOH DOA YESUS*

Bagaimanakah pola doa itu? Murid-murid meminta kepada Yesus untuk mengajari
mereka berdoa. Lukas mencatat bahwa Tuhan menjawab pertanyaan itu dengan
memberikan doa yang biasa kita sebut "Doa Bapa Kami". Dalam memberikan doa
itu, Yesus tidak bermaksud agar doa itu menjadi kalimat-kalimat hafalan.
Firman-Nya, "Karena itu berdoalah demikian:..." (Matius 6:9) menunjukkan
sifat doa, bukan pola doa yang wajib dilakukan.

Pentingnya doa sebagai sebagai pola ditingkatkan oleh pengertian dari doa
itu sendiri. Yesus mengajarkan bahwa semua doa akan dituntun oleh
prinsip-prinsip yang sama dengan doa Bapa Kami. Kita sudah sering
merasakannya. Tetapi karena pengaruh yang sangat besar dan pentingnya doa
ini, maka mungkin akan sangat bermanfaat jika kita sedikit mendiskusikan
arti pentingnya di sini.

*Ditujukan kepada Allah*

Terlebih dahulu perhatikan tujuan utamanya adalah kepada Allah: "Bapa
Kami". Ada banyak fakta yang bisa kita pelajari bahwa Yesus juga menggunakan
istilah ini. Dia tidak memberikan suatu diskusi teologikal tentang Allah;
dengan singkat Dia menyebutkan "Bapa". "Bapa" melambangkan seseorang yang
memberi kita hidup. Dia tidak hanya memberi kita hidup secara fisik tetapi
melalui-Nya kita telah dilahirbarukan, "bukan dari darah atau dari daging,
bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari
Allah." (Yohanes 1:13).

Ungkapan umum, "Dia meletakkan seluruh dunia ini dalam tangan-Nya,"
mengakui kebenaran bahwa Tuhan adalah Bapa kita. Dimana pun orang yang kita
kasihi itu berada, kita tahu bahwa tak seorang pun lepas dari perhatian dan
kasih-Nya. Dia adalah Bapa kita, berada dimana saja, dan perhatian-Nya
selalu tertuju kepada setiap anak-anak-Nya. Dia berada di surga, tetapi itu
tidak berarti bahwa dia jauh. Mengenal-Nya sebagai Bapa berarti segera
mengakui persaudaraan yang berikan kepada semua umat-Nya.

*Permohonan*

Dalam doa yang ditujukan kepada Allah ini terdapat tujuh permohonan.
Permohonan-permohonan ini dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama,
ditujukan kepada Allah dan kerajaan-Nya. Kelompok kedua, terdiri atas empat
permohonan, bagi kita dan kebutuhan kita. Pada kelompok yang pertama, kita
tujukan dari yang tertinggi pada kehidupan kita yang sesungguhnya. Pada
kelompok yang kedua, kita memulainya dari kebutuhan yang paling mendesak,
kemudian naik dan masuk ke dalam pengakuan dosa dan dijauhkan dari setan.

"Dikuduskanlah nama-Mu" adalah pengakuan bahwa Allah adalah kudus dan
dihormati. Ini adalah pengakuan bahwa manusia akan menghormati Allah.
Kesalahan yang fatal akan bisa dihindari jika manusia benar- benar
menghormati Allah. Kita cukup hanya menuliskan nama-Nya pada mata uang kita
atau menyebutkan nama-Nya pada saat kita menghormat bendera. Allah hanya
akan dikuduskan jika manusia benar-benar meninggikan-Nya.

"Datanglah kerajaan-Mu" adalah suatu pengakuan bahwa hukum Allah harus
diketahui oleh semua manusia di dunia. Kedatangan Kristus menyatakan bahwa
kerajaan-Nya sudah dekat. Dia menunjukkan kepada kita bahwa kerajaan-Nya
perlahan-lahan menyebar di seluruh dunia, sehingga doa kita adalah agar
kerajaan-Nya tersebar. Kita memohonkan ini pada saat berdoa agar Tuhan
mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian-Nya itu (Matius 9:38). Harapan
orang-orang Kristen adalah agar Tuhan memerintah semuanya.

"Jadilah kehendak-Mu". Bagaimanakah kehendak Allah terjadi di bumi dan di
surga? Hanya jika manusia mau berhenti memberontak dan mulai mengasihi
Allah, bekerja pada karya keselamatan Kristus. Doa kita bukanlah untuk suatu
tindakan Tuhan yang memaksa dengan cara mengumpulkan orang untuk datang ke
hadirat-Nya. Tetapi ini adalah suatu doa yang dengan kekuatan gospel membuat
manusia patuh dan mau menghadap Tuhan dengan senang hati.

"Makanan kami hari ini". Dapat menyimbolkan semua kebutuhan fisik dalam
hidup kita. Kita harus mendoakan ini. Kita harus mengakui ketergantungan
kita dan mengekang keegoisan kita terhadap materi. Doa kita adalah makanan
kami "hari ini". Tergantung kepada-Nya setiap hari adalah kuncinya. Kita
tidak perlu mengumpulkan kekayaan. Tuhan selalu mencukupi.

"Ampunilah kesalahan kami". Ini adalah kebutuhan yang lebih diperlukan
daripada makanan atau pakaian. Percayalah bahwa dosa diampuni, kesalahan
dihapuskan, dan persekutuan dipulihkan adalah anugerah terbesar yang
dimiliki oleh jiwa kita. Dunia yang tidak ada batasnya dan manusia yang
penuh dengan kata-kata merupakan peluang yang besar bagi kekecewaan. Di
tengah-tengah ketidakpastian, manusia mencari cara untuk melepaskan
bebannya. Hanya Tuhan yang bisa memberikan jaminan kedamaian, karena jaminan
itu berasal dari pengampunan dan penyerahan diri.

"Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan tetapi lepaskanlah kami daripada
yang jahat". ungkapan tersebut merupakan pengakuan yang keluar dari
kejujuran kelemahan kita. Kita membutuhkan kekuatan untuk pergumulan rohani
yang harus kita hadapi. Kita tahu bahwa pergumulan pasti berat. Kita tahu
bahwa Dia akan menolong kita. Kita berdoa agar Ia menolong kita.

Hal menarik dari doa ini, dan juga seluruh perkataan Yesus adalah bahwa
kita tidak pernah mengukur kedalamannya. Anda bisa belajar berdoa seperti
seorang anak kecil; Anda masih bisa mempelajarinya jika Anda telah mencapai
puncak kehidupan. Ini adalah suatu contoh. Kita perlu mempelajarinya. Kita
harus benar-benar berusaha memahami apa arti mengikuti tuntunan-Nya. Jika
kita dapat memahaminya, maka doa kita akan menjadi pusat pengakuan orang
yang lemah rohani dan orang ini bisa mulai menjadi pengakuan yang serius dan
sungguh- sungguh dari orang Kristen yang sedang dewasa.

Tuhan Yesus berdoa dan Ia juga mengajar kita berdoa. Tidak diragukan lagi
bahwa kegagalan dalam hidup kita adalah akibat langsung dari kita kurang
bersungguh-sungguh dalam berdoa. Hak terbesar manusia ini sering diabaikan.
Dan hak ini tidak diserukan kepada kita tanpa dilakukan, dipersembahkan,
diperhatikan. Ya, kita semua harus berdoa kepada Tuhan, "Ajarilah kami
berdoa".

*Diambil dari:*
Judul buku :What Jesus Taught Judul artikel: What Jesus Taught about
Prayerpenulis :George Alder penerbit:The Standard Publishing, Ohio 1965
Halaman: 77 -- 78 dan 82 -- 84

Pola Doa Tuhan Yesus

Saya mengagumi orang-orang yang menempatkan doa sebagai prioritas utama di
dalam hidup mereka. Secara jujur saya katakan, doa sudah terbukti merupakan
suatu hal yang menuntut disiplin yang paling tinggi di dalam hidup saya.
Kadang-kadang saya merasakan doa merupakan hal yang memberatkan,
membosankan, mengecewakan, dan membingungkan. Selama bertahun-tahun
kehidupan doa saya naik turun. Saya memang pernah beberapa kali berhasil
menggenggamnya, namun ternyata tak mampu untuk tetap bertahan. Lewat
pengalaman, saya belajar bahwa doa bukan hanya sekadar 'kata-kata' saja. Doa
yang sungguh-sungguh itu merupakan hal yang sukar dan berat.

Tidak mudah bagi saya untuk mengakui pergumulan doa yang saya alami di
dalam hidup saya. Dalam hidup Yesus, doa adalah pekerjaan, dan pelayanan
adalah pahala. Bagi saya, doa adalah persiapan untuk perang, tetapi bagi
Yesus, doa adalah peperangan itu sendiri. Setelah berdoa, Ia pergi melayani
seperti seorang murid teladan yang pergi menerima penghargaan, atau seperti
seorang pelari maraton yang telah menyelesaikan pertandingannya dan sedang
menantikan medali emasnya.

Di manakah Yesus meneteskan keringat-Nya yang seperti tetesan darah? Bukan
di Ruang Sidang Pilatus, bukan pula dalam perjalanan-Nya ke Golgota, tetapi
di Taman Getsemani. Di sanalah Dia "mempersembahkan doa dan permohonan
dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya
dari maut" (Ibrani 5:7). Jika saya ada di sana menyaksikan hal tersebut,
saya pasti sangat kuatir akan hari esok. "Jika Tuhan begitu hancur hati-Nya
ketika Dia sedang berdoa untuk krisis yang akan Dia hadapi", saya mungkin
akan berkata, "apa yang akan Dia lakukan bila krisis itu benar-benar
menimpa-Nya? Mengapa Dia tidak bisa menghadapi cobaan ini dengan perasaan
tenang seperti yang dilakukan oleh ketiga murid-Nya yang tertidur itu?" Akan
tetapi, sewaktu ujian yang sebenarnya tiba, Yesus dengan berani berjalan
menuju salib, sementara ketiga murid-Nya itu lari entah ke mana.

Dalam Lukas 11, setelah Yesus meluangkan waktu untuk berdoa, salah seorang
murid-Nya bertanya kepada-Nya, 'Tuhan, ajarlah kami berdoa, sama seperti
yang diajarkan Yohanes kepada murid-muridnya." Ada dua hal penting yang
perlu kita perhatikan di sini. Pertama, salah satu bagian dari 'kurikulum'
Yohanes Pembaptis dalam membina muridnya adalah dengan mengajarkan pelajaran
berdoa. Kedua, para murid meminta kepada Yesus untuk memberikan pelajaran
berdoa. Mereka sudah bersama-Nya selama lebih dari 2 tahun. Mereka selalu
duduk di barisan depan saat la mengajar dan berkhotbah. Mereka menyaksikan
mujizat yang la perbuat. Namun, sejauh yang kita ketahui, mereka tidak
pernah berkata, "Tuhan, ajarkan kami berkhotbah," atau 'Tuhan, tunjukkan
kami cara melayani". Mereka datang kepada-Nya dan meminta, "Ajarkanlah kami
berdoa."

Kita biasanya meminta yang terbaik dari seorang pakar. Jika kita bersama
dengan seorang bankir yang sukses, kita meminta, "Ajarkan kami cara
berinvestasi". Dari seorang profesor yang brilian, kita mendesak, "Ajarkan
kami cara melakukan riset". Saat bertemu pemain golf profesional, kita
berkata, "Ajarkan kami cara memukul bola ini". Murid Yesus memohon, "Ajarkan
kami berdoa."

Karena doa sangatlah penting bagi pelayanan-Nya. Yesus ingin agar para
murid pun memiliki sikap yang sama, jadi la pun mengajarkan mereka doa yang
sekarang kita kenal sebagai "Doa Bapa Kami". Sebenarnya penamaan ini kurang
tepat, karena Tuhan Yesus sendiri tidak mungkin menaikkan doa semacam ini.
Sebagai Anak Allah yang tak berdosa. la tak mungkin ikut berdoa, "Ampunilah
kami akan kesalahan kami". Mungkin doa ini sebaiknya disebut "Doa Para
Murid", karena lebih mengena pada kita. "Doa Bapa kami" yang diajarkan Tuhan
Yesus ini merupakan penuntun bagi kita di dalam berdoa sama seperti kerangka
khotbah bagi seorang pendeta, atau seperti cetak biru bagi seorang
kontraktor. "Doa Bapa Kami" ini menjadi pedoman kita untuk berdoa.

Kerangka doa yang diberikan kepada kita oleh Injil Lukas dimulai dengan
panggilan kepada Allah: "Bapa". Doa ini memiliki dua bagian utama. Yang
pertama, kita berbicara tentang Bapa sebagai Pribadi, rencana, dan
tujuan-Nya: "Dikuduskanlah nama-Mu", "Datanglah Kerajaan-Mu", "Jadilah
Kehendak-Mu". Kemudian kita berbicara kepada Bapa sehubungan dengan
keluarga-Nya — kebutuhan setiap anak-Nya akan makanan, pengampunan, dan
perlindungan: "Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya",
"Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang
bersalah kepada kami," dan "Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan".

Sementara saya masih mempunyai pelajaran-pelajaran yang harus saya ambil di
"sekolah doa", model doa Yesus ini sudah menjadi kehidupan doa saya. Tentu
saja Anda pantas mendapat nilai yang tinggi untuk mata pelajaran ini. Akan
tetapi jika Anda belum memperolehnya, Anda bisa mencoba menggunakan beberapa
petunjuk yang dapat mengajarkan Anda berdoa.

Kebapaan Allah: "Bapa Kami

Mula-mula kita perlu tahu kepada siapa kita berdoa. Menurut Yesus, saat
kita berdoa kepada Allah, Sang Khalik Semesta, kita dapat memanggil-Nya
Bapa. Kata Bapa yang singkat ini merupakan suatu rangkuman dari seluruh iman
Kristen. Hal ini merupakan jawaban bagi pertanyaan filsuf Lessing, "Apakah
semesta ini bersahabat?" Saat orang Kristen sujud di hadirat Allah dan
memanggil-Nya Bapa, mereka sedang mengakui bahwa pada pusat semesta tidak
hanya terdapat sumber kekuatan, namun juga sumber kasih.

Namun tidak semua orang dapat memanggil Allah sebagai Bapa. Yesus-lah yang
mengajarkan kita untuk berdoa demikian. Dia sendiri yang menjamin bahwa kita
dapat menjalin hubungan dengan Allah dan menjadi bagian dari keluarga-Nya.
Dia adalah Bapa kita dan kita adalah anak-anak-Nya.

Ada beberapa orang yang memiliki pandangan yang disebut, "Allah sebagai
Bapa dan persaudaraan antar umat manusia". Pandangan ini tidak mencerminkan
pengajaran Alkitab. Memang benar Allah adalah Pencipta segalanya, dan dalam
pengertian ini berarti semua orang adalah "keturunan Allah" (Kisah Para
Rasul 17:29). Namun relasi antara ciptaan dengan Penciptanya ini bukanlah
relasi antara Bapa dan anak. Relasi Bapa-anak hanya dimungkinkan terjadi
melalui hubungan kita dengan Yesus Kristus. Yohanes 1:12 berkata, "Tetapi
semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak
Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya."

Bisa memanggil Allah sebagai Bapa adalah sungguh suatu hak istimewa yang
luar biasa—hak yang sering kali kita remehkan. Dalam Perjanjian Lama, umat
Tuhan secara individu tidak memanggil Allah sebagai Bapa. Istilah Bapa
sangat jarang digunakan, dan kalaupun dipakai, umumnya ditujukan pada
hubungan antara Allah dengan umat Israel. Sepanjang yang kita ketahui, tidak
ada satu pun tokoh Perjanjian Lama—Abraham, Yusuf, Musa, Daud, Daniel—yang
pernah sujud berdoa dan berani memanggil Allah dengan nama Bapa. Namun dalam
Perjanjian Baru, kata ini muncul 275 kali. Begitulah cara kita memanggil
Allah. Berkat kematian dan kebangkitan Yesus, bibir kita dapat menyerukan
Bapa kepada Sang Khalik Semesta.

Panggilan "Bapa kami yang di sorga", tidak hanya menandakan kedekatan
hubungan yang kita miliki dengan Allah, namun juga menunjukkan kekaguman
kita saat kita datang dalam doa kepada-Nya. Yesus pun mengingatkan kita
bahwa Pribadi yang kita panggil Bapa itu adalah Allah yang berdaulat, Maha
Kuasa dan penuh otoritas.

Mungkin bagi orang Kristen Yahudi mula-mula, lebih mudah memahami Allah
sebagai Allah yang patut dikagumi ketimbang memahami Allah sebagai Allah
yang memiliki hubungan intim dengan manusia. Sayangnya pada masa ini,
terjadi hal yang berbeda. Kita tidak memandang Allah sebagai Allah yang
menjadi sumber kekaguman kita. Pada zaman Perjanjian Lama, pemazmur tidak
mungkin berkata seperti ini: "Saya tidak tahu jawabannya, tanyakan saja pada
Dia.” Atau tokoh-tokoh Alkitab pada zaman Perjanjian Baru menyebut Allah
dengan sebutan si 'Orang Besar di atas sana'. Kata-kata ini hanya mungkin
diucapkan oleh orang-orang pada masa kini. Akan tetapi kalaupun kita
memanggil Allah sebagai Bapa tidak berarti Dia adalah sebuah boneka beruang
besar yang bisa dipeluk-peluk.

Alkitab tetap mempertahankan jarak antara keintiman dengan kekaguman.
Penulis Ibrani berkata, "Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian
menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan
kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya" (Ibrani 4:16).
Fakta bahwa kita sedang menghampiri sebuah takhta seharusnya sudah cukup
membuat kita kagum dan gentar. Namun kita dapat mendekat karena ini adalah
takhta kasih karunia. Allah yang Maha Besar dan Maha Kuasa telah mengizinkan
kita untuk datang menghampiri-Nya dalam doa dan memanggil diri-Nya Bapa,
karena Yesus Kristus.

Pribadi Allah: "Dikuduskanlah Nama-Mu

Saat kita berdoa, Yesus mengajarkan kita untuk berkata, "Bapa kami yang
di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu" (Lukas 11:2). Dalam pemikiran Yahudi, nama
seseorang sangatlah penting. Orang tua tidak akan sembarangan memberikan
nama pada anak mereka. Mereka tidak memilih sebuah nama hanya karena nama
tersebut mengingatkan mereka pada 'Bibi Hilda' atau 'Paman Harry'. Orang tua
Yahudi akan memilih sebuah nama bagi anak mereka dengan harapan nama
tersebut akan menyatakan kepribadian, atau karakter yang ingin mereka lihat
dalam diri anak tersebut.

Kaum Puritan di Amerika juga melakukan hal yang sama. Mereka menamakan anak
perempuan mereka Silence (Keheningan), Charity (Kemurahan Hati), Hope
(Pengharapan), Love (Kasih), atau Patience (Kesabaran). Mereka berharap agar
anak itu nantinya menjadi seperti nama yang ia kenakan. Hal ini pun terlihat
di dalam Perjanjian Baru. Pada saat krisis, saat pandangan hidup seseorang
berubah, biasanya namanya pun ikut berubah. Sebagai contoh, sewaktu Yesus
bertemu Petrus, namanya adalah Simon, seorang yang plin-plan dan tak dapat
diandalkan. Namun Yesus mengganti namanya menjadi Petrus, yang berarti "batu
karang." Jadi Petrus pun belajar berubah dari seseorang yang plin-plan
menjadi seorang yang seteguh batu karang.

Praktik semacam ini pun masih terlihat sekarang saat Kardinal Polandia
dilantik menjadi paus. la mengganti namanya menjadi Yohanes Paulus II,
karena ia ingin hidupnya berpadanan dengan nilai-nilai yang dianut oleh para
pendahulunya, Yohanes XXIII, Paulus VI, dan Yohanes Paulus I. la memilih
nama itu untuk menunjukkan ia ingin menjadi pribadi seperti yang ia
inginkan.

Dalam Mazmur 9:11 kita membaca, "Orang yang mengenal nama-Mu percaya
kepada-Mu, sebab tidak Kau tinggalkan orang yang mencari Engkau, ya TUHAN."
Sang pemazmur tidak bermaksud mengatakan bahwa mereka yang dapat menyebutkan
nama Allah dapat percaya kepada-Nya. Maksud pemazmur adalah bahwa mereka
yang mengenal karakter dan kuasa Allah dapat percaya kepada-Nya. Jadi saat
kita berdoa "dikuduskanlah nama-Mu", sebenarnya kita sedang membicarakan
karakter dan pribadi dari Allah. Menguduskan memiliki arti "menyucikan,
memisahkan, mengkhususkan." Lawan katanya adalah "mengotori, memalukan,
menodai nama itu." Jadi sewaktu kita berkata, "dikuduskanlah nama-Mu," kira
sedang meminta agar Allah menjadi Tuhan kita, dan kita memisahkan Dia secara
khusus dalam doa kita agar jelas bahwa kita menghormati-Nya.

Kadang doa kita cenderung berisi penghujatan. Sering kita berdoa
seolah-olah Allah itu tuli dan kita perlu berteriak-teriak agar la dapat
mendengar kita, seolah-olah la tidak peduli dan kita perlu menjelaskan
semuanya agar la mengerti, dan seolah-olah la tidak berperasaan dan kita
perlu membujuk-Nya agar mau menjawab. Doa semacam ini menunjukkan bahwa kita
masih mempunyai pemahaman yang salah tentang Allah.

Di waktu yang lain doa kita memperlihatkan dengan jelas betapa nama-nama
duniawi itu lebih berarti ketimbang nama Allah di sorga. Lebih mudah bagi
kita untuk kagum pada majikan, dosen, kekasih hati, teman, atau pegawai
pemerintah ketimbang pada Allah di sorga. Kita lebih takut dan gentar pada
sesama kita di dunia ketimbang hormat dan takut pada Allah yang kita sembah
itu.

Permintaan yang terdapat dalam model doa ini sudah mencakup segala sesuatu
yang perlu kita doakan. Baik doa pendek maupun panjang, doa kita tidak
pernah melampaui apa yang tercantum di dalam Doa Bapa Kami ini. Kita sering
berdoa agar Tuhan mau menambahkan kesetiaan dan kerohanian kita, namun tak
satu pun isi Doa Bapa Kami ini yang menyinggung tentang kesucian pribadi.
Langkah pertama bagi pertumbuhan rohani bukanlah dengan mendoakan perasaan
atau perubahan diri, tetapi agar Allah benar-benar menjadi Tuhan dalam
kehidupan kita. Fokus kehidupan rohani bukanlah pengalaman tapi Allah
sendiri.

Kita mendapat perintah untuk hidup suci sama seperti Tuhan yang suci
adanya, karena kehidupan rohani dimulai saat kita mengambil keputusan untuk
menjadikan Tuhan sebagai Tuhan atas segala aspek kehidupan kita—pribadi,
keluarga, bisnis dan membiarkan Dia memisahkan kita secara khusus. Fokus
kepada Tuhan ini haruslah sungguh-sungguh bukan hanya dalam hati kita, namun
juga dalam doa kita untuk orang lain. Tidak cukup hanya berdoa agar sesama
kita dijauhkan dari dosa, namun mintalah agar mereka pun dapat mengenal
Tuhan. Tujuan tertinggi dari penginjilan tidak hanya sekadar agar orang lain
dimenangkan kepada Yesus Kristus, namun agar setiap orang di dunia ini yang
telah mencemari nama Tuhan dapat menyadari siapa sebenarnya Tuhan itu—Allah
yang Maha Kudus, Maha Rahmani dan Maha Benar. Melalui pengertian ini barulah
mereka dapat menguduskan nama-Nya. Inilah inti dari penginjilan—semua orang
menjadikan Tuhan sebagai Tuhan atas hidup mereka.



Program Allah: "Datanglah Kerajaan-Mu"

Permintaan kedua yang kita tujukan kepada Bapa, bukan cuma berkaitan
dengan pribadi-Nya sebagai Allah tetapi juga berhubungan dengan rencana-Nya.
Permintaan kedua ini adalah, "Datanglah Kerajaan-Mu." Di sini Yesus
bermaksud menyinggung tentang kedatangan-Nya yang kedua kali sebagai Raja
atas seluruh bumi. Kisah-kisah yang ada dalam Alkitab senantiasa merujuk
kepada penantian akan kedatangan kembali Mesias, yaitu Yesus Kristus, yang
akan memerintah dalam kebenaran di mana seluruh kerajaan di muka bumi ini
akan menjadi milik-Nya (Wahyu 11:15).

Perhatian kita akan pemerintahan Allah atas bumi ini menjadi dasar kita
memandang sejarah. Joseph Wittig pernah mengatakan bahwa biografi seseorang
seharusnya tidak dimulai dengan saat kelahirannya, tetapi kematiannya.
Menurut Wittig, kita dapat mengukur kontribusi seseorang pada hidup ini
bukan lewat awal mulanya, tetapi akhir hidupnya. Beginilah seharusnya cara
kita memandang sejarah. Banyak orang yang berpikir, kemanakah sejarah akan
pergi? Apakah sejarah itu seperti roda yang terus berputar tanpa pernah
menyentuh tanah? Apakah sejarah itu berupa suatu siklus kejadian yang
terus-menerus berulang tanpa tujuan kecuali kehampaan? Beberapa orang
menganggap sejarah hanyalah suatu dongeng yang diceritakan oleh seorang
idiot, lewat tulisan cakar ayamnya di dinding kamar sebuah rumah sakit jiwa.
Edward Gibbon memandang sejarah sebagai "daftar dari kejahatan, kebodohan,
dan kemalangan dari umat manusia." Henry Ford menyimpulkan sejarah sebagai
"omong kosong." Sementara Ralph Waldo Emerson mengkategorikan sejarah
sebagai "kumpulan biografi orang-orang besar."

Namun, menurut kesaksian Alkitab, sejarah merupakan kisah-Nya, dan sejarah
pasti akan menuju pada satu titik—kedatangan kembali Yesus Kristus. Alkitab
sudah mengantisipasi kedatangan hari itu dengan memberitahukan bahwa para
malaikat dan umat percaya akan bersama-sama memuji Tuhan. Di hadapan kita
nampak terang, dan sejalan dengan berlalunya waktu nampak semakin cemerlang.

Jadi saat kita berdoa, "Datanglah Kerajaan-Mu," kita sebenarnya sedang
menantikan saat di mana kerajaan Allah yang dinubuatkan di sepanjang
Perjanjian Lama akan terwujud lewat kedatangan Yesus ke dunia. Sambil kita
berdoa, kita mengalihkan pandangan kita kepada hari di mana setiap kerajaan
di dunia ini akan menjadi milik Tuhan. Kita sungguh menantikan puncak dari
sejarah umat manusia, saat kehendak Allah terlaksana di bumi seperti di
sorga.

Sewaktu kita mengucapkan "Datanglah Kerajaan-Mu", kita juga sedang meminta
hal lain. Kita memohon agar di tempat tinggal kita sekarang, kita takluk
pada kehendak Allah. Jika kita sungguh merindukan saat kerajaan Kristus
ditegakkan di bumi ini, kita harus bersedia merelakan segala
"kerajaan-kerajaan kecil" yang begitu berarti bagi kita ditaklukkan di bawah
pemerintahan Allah. Sebelum kita melihat pemerintahan Allah atas segala umat
manusia di masa yang akan datang, maka kita perlu memastikan bahwa la akan
mengerjakan kehendak-Nya atas hidup kita sekarang.

Saat kita berucap, "Datanglah Kerajaan-Mu," kita sedang mengaminkan hak
Allah untuk memerintah atas semua orang, termasuk diri kita. Saya tidak akan
pernah mampu mengucapkan doa ini dengan penuh integritas jika saya belum
benar-benar peduli dengan kedaulatan Allah yang bertahta dalam hidup saya.
Kita tak mungkin mendoakan pemerintahan Allah atas segala bangsa sebelum
kita dengan tulus menginginkan diri-Nya berkuasa atas kita.

Pada waktu saya berumur dua puluhan, saya terbiasa mendengar khotbah di
mana saya didesak untuk mengharapkan kedatangan Kristus yang kedua kali. Ya,
saya memang menginginkan hal itu, tetapi tidak dalam waktu dekat ini. Saya
masih ingin melakukan beberapa hal sebelum Ia datang kembali. Saya ingin
menikah, punya anak, dan mempunyai pelayanan yang mantap. Setelah semua ini
terpenuhi, Yesus boleh datang. Namun ketika saya memikirkan hal ini kembali,
sebenarnya tidak ada rencana apa pun yang boleh menghalangi kedatangan
Yesus. Tak ada hal lain yang lebih utama selain kedatangan-Nya sekarang. Dan
sikap inilah yang seharusnya kita miliki saat kita berdoa, "Datanglah
Kerajaan-Mu."

Tujuan Allah: "Kehendak-Mu Jadilah

Kita harus berdoa untuk pribadi Allah, agar nama-Nya dikuduskan; untuk
programAllah, agar kerajaan-Nya datang kembali; dan untuk tujuan-Nya, agar
kehendak-Nya terlaksana di bumi seperti di sorga.

Berdoa agar kehendak-Nya terjadi merupakan dasar bagi doa-doa kita. Kita
sebenarnya sedang meminta agar kehendak-Nya terjadi dalam hidup kita dan di
dunia ini. Sayangnya doa kita sering kali terbalik. Saat berdoa kita
seakan-akan sedang berusaha meminta Tuhan mengubah cara-Nya mengatur dunia
sesuai dengan permohonan kita. Yang lebih parah lagi, Tuhan menjadi semacam
jin di dalam botol. Jadi sewaktu kita menggosok botol itu, kita berharap la
akan mengubah dunia untuk memenuhi keinginan kita.

Kita perlu menyadari betapa pentingnya menyesuaikan kehendak kita dengan
kehendak Tuhan. Kita tidak seharusnya mendoakan sesuatu dan mengakhirinya
dengan berkata, "jika itu adalah kehendak-Mu" apabila tidak dengan sepenuh
hati. Perkataan ini bukanlah sesuatu hal yang kita letakkan di akhir doa
kita sebagai jalan keluar, untuk meloloskan diri agar kita tidak merasa malu
jika permintaan itu tidak terwujud. Doa bukanlah untuk memaksa Tuhan
melakukan keinginan kita; namun memohon agar kehendak Tuhan dapat terlaksana
di dalam kehidupan kita, keluarga kita, bisnis kita, dan di dalam hubungan
kita, seperti halnya di sorga.

Saat Alkitab memberitahukan sebagian kecil isi sorga, kita dapat melihat
para malaikat yang siap menantikan perintah-Nya. Di sorga, semua makhluk
bersedia melakukan kehendak-Nya. Di semesta ini seluruh galaksi berserta
segenap bintang dan planet yang ada bergerak sesuai rancangan-Nya.
Kelihatannya hanya di sini, di planet ketiga yang kita sebut sebagai bumi
inilah, terdapat pemberontakan.

Bagi kita, mencoba untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah di bumi seperti
halnya di sorga merupakan suatu peperangan tersendiri. Kita hidup dalam
dunia yang telah dikuasai oleh Setan, yang senantiasa bertentangan dengan
Allah. Bagi kita, untuk melakukan kehendak Allah di bumi seperti di sorga
berarti harus melawan arus. Saat kita berdoa, "Kehendak-Mu jadilah di bumi
seperti di sorga," sebenarnya kita sedang mendoakan sahabat kita, keluarga
kita, masyarakat kita, dan di atas semuanya itu, kita sedang mendoakan diri
kita sendiri.

Tatkala jenazah Beethoven digali kembali 42 tahun setelah kematiannya,
ditemukan bahwa tangannya naik dengan posisi terkepal seakan-akan hendak
menantang. Rupanya penguburan ini telah menunjukkan sikapnya selama ini.
Pada umur 30 tahun, Beethoven menjadi tuli dan tetap demikian hingga saat
kematiannya 26 tahun kemudian. Dia meninggal dalam kemarahan dan kepahitan
karena merasa Tuhan sudah mencelakainya. Walaupun mungkin ia sudah berdoa
agar kehendak Tuhan terlaksana, hal ini dilakukannya dengan berat hati.
Memang bisa saja berdoa agar kehendak-Nya terwujud namun menolak kenyataan
bahwa Tuhan adalah Tuhan. Banyak sekali orang yang menghina Tuhan karena la
tidak menjadikan mereka penguasa atas nasib mereka sendiri. Namun mereka
yang mengenal Tuhan sebagai Bapa dan telah menjalin hubungan dengan-Nya, dan
Juga mereka yang mengerti bahwa hati Sang Maha Kuasa tidak hanya adil dan
kudus, namun juga penuh rahmat dan kebaikan, tahu bahwa Allah turut bekerja
dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi
Dia.

Jadi kita dapat berdoa agar nama-Nya dikuduskan, agar la menjadi Allah
kita, agar kerajaan-Nya ditegakkan di dunia ini, agar setiap lutut bertelut
dan setiap lidah mengaku bahwa Yesus Kristuslah Tuhan, dan agar kehendak-Nya
terlaksana di bumi seperti di sorga.


Pemeliharaan Allah: "Berikanlah Kami Pada Hari Ini Makanan Kami

Ketika Yesus mengajarkan kita berdoa, Ia memberikan suatu pola yang
komprehensif untuk kita ikuti. Tiga permohonan pertama berhubungan dengan
kemuliaan Tuhan yang berbicara tentang "Nama-Mu", "Kerajaan-Mu" dan
"Kehendak-Mu". Sedangkan tiga permohonan terakhir berhubungan dengan
keluarga atau diri kita: "Berikanlah kami", "Ampunilah kami" dan "Janganlah
membawa kami".

Helmut Thielicke, teolog Jerman, menunjukkan bahwa seluruh kehidupan
manusia tercakup dalam permintaan-permintaan ini. "Hal besar dan kecil; hal
rohani dan materi; di dalam dan di luar—tak ada yang tidak termasuk di dalam
doa ini."

Adlai Stevenson pernah berkata, "Memahami kebutuhan manusia berarti kita
sudah memenuhi separuh dari kebutuhannya." Mungkin separuh yang lain adalah
kemampuan untuk memenuhinya. Allah sanggup melakukan keduanya. Karena Dia
tahu benar kebutuhan kita dan mampu memenuhinya, maka Yesus pun mengajak
kita mendoakan hal-hal tersebut kepada Bapa. Setelah mendoakan hal yang
bersifat kosmis dan kekal, kita pun perlu mendoakan hal yang sifatnya
sementara.

Waktu Yesus berkata, "Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang
secukupnya", Ia bukan sedang menyarankan jalan-jalan ke supermarket membeli
makanan. Ia bermaksud mengatakan bahwa mendoakan kebutuhan sehari-hari kita
adalah hal wajar. Kita baru dapat benar-benar melayani kerajaan dan
kehendak-Nya bila kita punya cukup kekuatan pada hari ini. Jadi sangatlah
pantas bila kita berdoa meminta pekerjaan agar punya uang membeli makanan.
Sangat pantas pula jika kita meminta pakaian untuk bekerja agar dapat
memperoleh makanan. Juga tidak salah jika kita mendoakan kebutuhan
transportasi ke tempat kerja agar makanan bisa diperoleh. Tuhan tahu
kebutuhan kita, dan Ia peduli.

Kita sering tergoda untuk tidak merepotkan Tuhan dalam hal makanan. "Jangan
mendoakan soal makanan," pikir kita, "Keluar dan bekerjalah." Bahkan
beberapa Bapa Gereja merohanikan kata 'roti' (makanan) yang dipakai di sini
dengan merujuk kepada roti perjamuan kudus. Pandangan seperti ini dapat
dipahami karena setelah berdoa untuk kemuliaan Allah, sepertinya terlalu
duniawi kalau mendoakan hal-hal kecil seperti makanan.

Namun "makanan sehari-hari" di sini benar-benar berarti demikian. Kata
"roti" menunjuk pada makanan yang mencukupi kebutuhan fisik kita. Dalam
pengertian yang lebih luas, tentu saja roti ini berarti segala sesuatu yang
kita butuhkan untuk bertahan hidup. Bapa kita di sorga sungguh peduli dengan
kebutuhan kita akan makanan. Apa yang akan kita makan nantinya benar-benar
Ia perhatikan.

Fokus permintaan ini adalah makanan sehari-hari. Kata "sehari-hari" telah
membingungkan para ahli selama berabad-abad. Beberapa tahun yang lalu,
seorang arkeolog berhasil menggali keluar gulungan papirus yang ternyata
berisi daftar belanja seorang ibu rumah tangga. Dari beberapa barang yang
tertera di sana, wanita tersebut menuliskan kata "sehari-hari". Artinya
mungkin, "cukup sampai besok". Jika demikian, doa ini harus diterjemahkan,
"Berikanlah kami makanan kami yang secukupnya sampai esok." Bila didoakan
pada pagi hari, berarti ditujukan untuk kebutuhan kita pada jam-jam
mendatang. Bila didoakan pada sore hari, berarti permintaan untuk kebutuhan
kita keesokan harinya. Akibatnya, tentu saja Tuhan akan memenuhi kebutuhan
kita agar dapat memuliakan dan melakukan kehendak-Nya.

Dengan keberadaan lemari es pada masa ini, kita jarang membeli makanan
hanya untuk sehari saja. Kita menyimpan banyak makanan sehingga doa syukur
kita kadang hanya basa-basi belaka. Sulit bagi kita untuk menyelami bahwa
makanan yang kita makan atau pakaian yang kita kenakan itu berasal dari
tangan Bapa.

Yesus bukan sedang mengajak kita untuk meminta segala sesuatu yang ada di
katalog fashion, limousine, pakaian butik, atau sepatu bermerek. Doa untuk
roti— kebutuhan dasar manusia, bukan barang mewah. Minta roti, bukan kue
tar. la pun bukan mengajak kita meminta persediaan untuk bertahun-tahun
mendatang. Kita diminta untuk mendoakan hal-hal yang kita perlukan hingga
keesokan harinya.

Perhatikan juga saat kita berdoa, "Berikanlah kami pada hari ini makanan
kami", kita sedang meminta untuk anggota keluarga yang lain juga, selain
diri sendiri. Jika saya dengan tulus mendoakan hal ini, saya akan terlepas
dari egoisme dan keserakahan. Jika Bapa memberikan saya dua potong roti,
sementara saudara saya tidak memilikinya, roti yang lebih itu bukan untuk
disimpan tetapi untuk dibagikan. Jadi saya tahu bahwa Allah sebenarnya sudah
menjawab doa kami berdua.

Allah ingin membebaskan kita. Kita dapat membawa permintaan kecil kita.
Kita dapat meletakkan kebutuhan kita akan makanan, pakaian—semua yang kita
perlukan. Jika kita membutuhkannya, berarti hal-hal itu sudah menjadi
perhatian Bapa pula.

Pengampunan Allah: "Ampunilah Kami Akan Kesalahan Kami


Kelihatannya manusia sekarang tidak terlalu khawatir tentang dosa mereka.
Walter Horton menyinggung hal ini dalam bukunya, 'The Challenge Of Our
Culture': "Manusia modern jelas-jelas khawatir akan sesuatu—khawatir sampai
hampir mati. Analisis dari sikap seperti ini menunjukkan bahwa manusia
berusaha keras untuk menghindari dirinya melihat langsung ke mata Allah,
berkaitan dengan ketakutannya saat menghadap Allah." Karikatur di sebuah
koran pagi memperlihatkan seorang psikolog yang sedang mendengarkan
pasiennya: "Mr. Figby," katanya, "Saya rasa saya dapat menjelaskan perasaan
bersalah Anda. Anda memang bersalah!"

Setelah kita meminta Bapa mencukupi kebutuhan kita sehari-hari, kita dapat
juga memohon pengampunan-Nya: "Ampunilah kami akan kesalahan kami."
"Ampunilah" mengikuti "berikanlah." Yesus mengaitkan kedua permohonan ini,
"Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya" dengan
"Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang
bersalah kepada kami." Maksudnya adalah ketika kita memikirkan kebutuhan
kita akan makanan, kita pun menyadari kebutuhan kita akan pengampunan pula.
Juga, saat kita mengakui kesalahan kita, kita pun memikirkan bagaimana kita
menangani hubungan kita dengan sesama kita.

Agustinus menamakan permintaan ini "permintaan yang buruk" karena bila kita
berdoa "Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni
orang yang bersalah kepada kami," dan pada saat yang bersamaan masih
menyimpan dendam, kita sebenarnya sedang meminta Allah untuk tidak
mengampuni kita pula.

Sewaktu John Wesley melayani sebagai misionaris di koloni Amerika, ia
menghadapi kesulitan dengan Jendral James Oglethorpe. Jendral ini terkenal
dengan kesombongan dan kekasarannya. Suatu ketika Oglethorpe berseru, "Saya
tidak pernah mengampuni." Wesley segera menukas, "Kalau begitu, Tuan, saya
harap Anda tak pernah berdosa!"

Mari kita pikirkan bagaimana cara kerja pengakuan dosa ini. Jika saya
dengan jujur meminta pengampunan, maka sebenarnya saya tidak meninggikan
diri, dan saya pun mengakui dosa dan kesalahan saya. Jika saya dapat melihat
hidup saya yang terpolusi oleh dosa, saya pun mulai memandang dosa sesama
saya dalam terang yang berbeda. Tanpa ini, saya cenderung akan merasa sangat
penting, benar, dan terhormat sehingga sukar bagi saya untuk mengampuni
orang lain yang sudah menyinggung orang sebaik saya. Ini adalah pembenaran
diri. Mencoba mendapatkan setetes pengampunan dari orang sombong semacam ini
lebih sulit dari memeras jus apel dengan tangan kosong. Sukar sekali bagi
orang semacam ini untuk mengampuni.

Sebenarnya, yang sedang didoakan oleh orang yang tak mau mengampuni adalah
demikian: "Perlakukanlah saya seperti saya memperlakukan orang lain." Kent
Hughes menyatakan hal ini dalam studinya tentang Doa Bapa Kami: "Saya
memohon pada-Mu, Tuhan, perlakukanlah saya seperti saya memperlakukan
sesamaku. Dia orang yang tidak tahu berterima kasih kepada saya (meskipun
sikap itu tidak persis seperti sikap saya kepada-Mu Tuhan), namun saya
bersedia mengabaikan sikapnya itu. Perlakukanlah saya, Tuhan, seperti saya
memperlakukan dirinya."

Atau berdoa seperti ini: "Saya selalu memperhatikan setiap kesalahan yang
ia lakukan kepada saya. Perlakukanlah saya, Tuhan, seperti saya
memperlakukan dirinya."

Atau seperti ini: "Saya sudah tidak sabar lagi membalas perbuatan jahatnya
atas diri saya. Perlakukanlah saya, Tuhan, seperti saya memperlakukan
dirinya."

Jika Anda sungguh mengenal Allah selaku Bapa, maka Anda seharusnya
merupakan rekan Allah untuk memberikan pengampunan. Anda mungkin masih sulit
memaafkan beberapa hal yang telah merusak hidup Anda, hal ini merupakan dosa
Anda sendiri terhadap Allah—di mana Anda meminta pengampunan untuk hal itu—
membuat segala hal yang telah menyinggung Anda itu tampak begitu sepele.
Bagaimana mungkin kita meminta Allah yang suci adanya mengampuni kita,
sementara kita, selaku orang berdosa, malah menolak mengampuni sesama kita?
Sungguh tidak masuk akal bukan? Pengampunan kita atas dosa orang lain tidak
membuat Allah mengampuni kita, namun hal ini menjadi bukti bahwa kita sudah
masuk dalam pengampunan Allah. Mereka yang sudah merasakan pengampunan dari
Allah ini akan lebih mudah memaafkan sesama yang telah bersalah kepada
mereka.

Berdosa adalah sesuatu yang manusiawi, namun memaafkan adalah sesuatu yang
ilahi. Kita tidak akan pernah menikmati anugerah Allah kecuali ketika kita
mengakui dosa kita dan meminta pengampunan dari-Nya. Kita tak akan pernah
menyerupai Kristus, kecuali demi Kristus, kita mengampuni dan membebaskan
mereka yang berdosa terhadap kita.


Perlindungan Allah: "Janganlah Membawa Kami ke Dalam Pencobaan

Seorang wanita muda di sebuah shopping mall mengenakan kaos yang
bertuliskan,"Janganlah membawa saya ke dalam pencobaan—saya bisa
menemukannya sendiri." Ia ingin orang lain yang melihatnya tersenyum, namun
kalimat di bajunya itu menimbulkan satu pertanyaan. Apa yang sebenarnya kita
doakan saat kita berkata, "Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan?"

Mengapa kita perlu meminta Allah agar tidak membawa kita kepada pencobaan?
Bukankah lebih masuk akal bila kita mendoakan agar kita dijauhkan dari
pencobaan? Profesor D.A. Carson menjelaskan bahwa Yesus sedang memakai suatu
gaya bahasa yang disebut litotes, di mana kita mengekspresikan suatu hal
positif dengan membuat pernyataan yang bertentangan. Sebagai contoh, jika
saya berkata, "Hal ini bukan perkara kecil," kalau begitu pasti berarti
perkara besar. Saat kita berdoa, "Janganlah membawa kami ke dalam
pencobaan", sebenarnya berarti "Jauhkan kiranya aku dari pencobaan". Kita
meminta, "Jangan biarkan Setan menyerang kita. Jangan biarkan musuh kita
menjerat diri kita." Kita sedang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai kuasa
untuk memimpin kita menghindari segala godaan yang menghadang kita; dan kita
meminta, "Jika kesempatan untuk berdosa muncul, bantulah agar saya tidak
memiliki hasrat untuk melakukannya. Jika godaan itu muncul dari dalam diri
saya, bantulah agar tidak tersedia kesempatan untuk melakukannya."

Jujur saja. Jarang sekali kita mau dijauhkan dari pencobaan—terlalu
menyenangkan untuk dilewatkan. Beberapa orang bahkan berkelakar dengan
berkata, "Jangan menolak pencobaan, karena mungkin ia akan pergi dan tak
pernah kembali lagi." Pencobaan menggetarkan jiwa dan meliarkan imajinasi.
Jika kita terpicu olehnya maka hal itu tidak lagi menjadi sekadar godaan.
Kadang-kadang kita bisa melihat ke mana pencobaan ini akan membawa kita dan
kita pun menjerit meminta tolong. Walaupun demikian, seringkali godaan itu
kelihatan tidak berbahaya, jadi kita pun bermain-main dengannya bahkan
mengundangnya masuk ke dalam kehidupan kita. Sewaktu kita mendoakan dosa
kita, sebenarnya kita bukannya minta agar pencobaan itu yang dijauhkan dari
kita, tetapi kita minta agar Tuhan menjauhkan kita dari akibat dosa yang
telah kita perbuat.

Walaupun demikian, dalam konteks doa ini, kita tidak hanya sekadar meminta
Tuhan agar mencegah kita menjadi anak-anak yang nakal. Pekerjaan Iblis
memiliki efek yang lebih buruk daripada itu. Kita dikelilingi oleh godaan
untuk hidup di luar Tuhan. Dalam mengejar ambisi dan kesuksesan, kita digoda
untuk meninggikan diri kita sendiri, membangun kerajaan kita sendiri,
menerima penghargaan atas usaha kita dan menolak kenyataan bahwa kita
membutuhkan anugerah pengampunan. Musuh kita ingin agar kita berpaling dari
Tuhan. Hanya Tuhan sajalah yang mampu membuat kita melihat dosa sebagaimana
adanya. Jika pencobaan datang dengan rantai untuk mengikat kita, mungkin
kita akan menolaknya. Akan tetapi pencobaan seringkali datang dengan dibalur
bunga dan parfum, menawarkan kegembiraan hidup, kesenangan dan kepuasan.
Pencobaan menyogok kita dengan kekayaan dan popularitas; memikat kita dengan
janji manis akan kemakmuran dan kebebasan tanpa batas. Hanya Tuhan sajalah
yang mampu melepaskan kita dari godaannya.

Doa Bapa Kami mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan strategi Setan.
Bertahun-tahun yang lalu, Helmut Thielicke menyinggung tentang pasca perang
Jerman, "Ada figur yang gelap dan misterius yang sedang bekerja. Di balik
setiap godaan ada sang penggoda, di balik setiap kebohongan terdapat sang
pembohong, di balik setiap kematian dan pertumpahan darah ada sang 'pembunuh
manusia sejak semula.'"

Jadi saat kita berdoa, "Lepaskanlah kami dari pada yang jahat," kita
mengakui kekuatan Setan, kelemahan kita, dan kebutuhan kita akan kuasa dari
Tuhan.

Kebesaran Allah: "Kerajaan, Kuasa, dan Kemuliaan


Doa Bapa Kami yang sering kita naikkan ditutup dengan satu pujian yang
membahana: "Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan
sampai selama-lamanya. Amin." Karena kata-kata ini terlihat wajar sekali
untuk menutup doa, sampai kadang kita tidak sadar bahwa perkataan ini
sebenarnya tidak muncul dalam manuskrip paling awal yaitu Injil Matius
maupun Lukas. Jelaslah bahwa pujian ini bukan merupakan bagian dari doa yang
dulunya diajarkan Yesus. Pada kenyataannya kalimat ini baru muncul pertama
kali pada abad kedua dan ketiga.

Sebuah doa harus ada konklusinya. Jika tidak, berarti doa ini hanya
terbatas pada pernyataan akan bahaya godaan, bahwa sijahat sedang menyiapkan
perangkap bagi kita. Saat orang Kristen dari gereja mula-mula memanjatkan
doa ini kepada Bapa, mereka menambahkan pujian ini, daripada mengakhirinya
dengan nada yang dingin dan menakutkan.

Pujian ini memiliki dasar Alkitabiah yang cukup kuat walaupun tidak secara
langsung diberikan oleh Yesus. Setelah Raja Daud mengumpulkan bahan-bahan
untuk membangun Bait Allah, ia berseru, "Ya TUHAN, punya-Mulah kebesaran dan
kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan; ....punya-Mulah kerajaan"
(1 Tawarikh 29:11). Gema dari pujian ini terus bergaung hingga pada akhir
zaman dalam lagu yang dinaikkan oleh keempat makhluk, "Bagi Dia yang duduk
di atas takhta dan bagi Anak Domba, adalah puji-pujian dan hormat dan
kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya!" (Wahyu 5:13). Penegasan ini
cocok untuk ditempatkan sebagai penutup doa ini: "Karena Engkaulah yang
empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin"
(Matius 6:13).

Tetapi apakah hal ini benar? Benarkan kerajaan itu milik Allah? Tidak
demikian menurut surat kabar. Bagi mereka ibukota kerajaan bisa saja di
Washington, atau London, atau Moskow, tetapi bukan sorga. Punya Dia-kah
kuasa? Tidak demikian menurut Rabi Harold Kushner, yang dalam bukunya When
Bad Things Happen To Good People berkata bahwa walaupun Allah itu kasih, ada
beberapa hal jahat yang berada di luar kendali-Nya. Milik Dia-kah kemuliaan?
Tidak demikian halnya menurut para pembangun pencakar langit dan para
ilmuwan yang menyanyi, "Kemuliaan bagi manusia di bumi yang memiliki
bangunan yang paling tinggi."

Pujian "Datanglah kerajaan-Mu" bukanlah sekadar asumsi yang perlu kita
terima supaya kita mengucapkannya di dalam doa kita, tetapi lebih merupakan
suatu keyakinan di mana bila kita mengucapkannya berulang-ulang akan membawa
kita dekat kepada kerajaan Allah. Saat kerajaan Allah, dan kemuliaan
nama-Nya mendapatkan tempat terutama dalam hidup kita, maka uang dan hal-hal
lain tidak lagi membuat kita cemas dan bersusah hati. Kemudian, pada saat
kita meminta makanan sehari-hari, kita akan menyadari bahwa di balik perut
yang kenyang kadang hati kita kosong. Lewat doa ini kita belajar bahwa Allah
memang benar-benar mengampuni dosa kita—bukannya menutup mata atas segala
ketidaktaatan kita—dan memberikan kita kuasa untuk mengampuni orang lain dan
menjauhkan kita dari perangkap Iblis. Dalam kehidupan doa kita menemukan
seorang Bapa yang kaya, murah hati dan tidak ada bandingnya: Bagi Dia-lah
yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan.

Kita tidak hanya memuji Tuhan sewaktu kita melihat Ia menjawab doa, tetapi
kita juga meninggikan Dia, karena saat berdoa, kita melihat sekilas dengan
iman apa yang pada akhirnya akan Dia selesaikan. Segala doa kita dinaikkan
dalam pemahaman akan kekekalan. Dalam jangka panjang, kita sadar bahwa
walaupun banyak orang berdosa yang melawan hukum Kristus, kerajaan-Nya
bagaikan matahari yang menantikan tersibaknya awan dan kegelapan. Dari sudut
pandang kekekalan, walaupun Sang Maha Kasih yang terbaring di palungan dan
terpaku di salib nampak begitu rapuh, sebenarnya di dalam hal itu kita
melihat kuasa yang tiada akhir serta kemenangan akhir yang gemilang. Para
raja dan presiden tak lebih daripada sekadar parade yang akan segera
berlalu. Kerajaan di masa lalu hanyalah pelajaran sejarah masa kita dan
penggalian arkeologis pada masa depan.

Di balik reruntuhan kerajaan kecil umat manusia ini bersinarlah kemuliaan
Tuhan. Saat kita berdoa sebagaimana mestinya, kita menegaskan keagungan
Tuhan, membahanakan kuasa-Nya, dan lewat jawaban doa kita, menampakkan
kemuliaan-Nya. *

Komentar

Postingan Populer