'Voetbal' di Batavia

Piala AFF sudah berakhir. Tim Garuda belum beruntung melawan Malaysia di final.
Bagaimanapun, Belanda memperkenalkan sepak bola ke Hindia Belanda. Ada baiknya
kita sedikit menengok tentang voetbal (sepak bola) di Batavia. Di akhir tahun
1920, pertandingan voetbal atau sepak bola sering kali digelar untuk meramaikan
pasar malam. Pertandingan dilaksanakan sore hari.

Sebenarnya selain sepak bola, bangsa Eropa termasuk Belanda juga memperkenalkan
olahraga lain, seperti kasti, bola tangan, renang, tenis, dan hoki. Hanya, semua
jenis olahraga itu hanya terbatas untuk kalangan Eropa, Belanda, dan Indo. Jadi
sangat eksklusif. Alhasil sepak bola paling disukai karena tidak memerlukan
tempat khusus dan pribumi boleh memainkannya.

Lapangan Singa (Lapangan Banteng) menjadi saksi di mana orang Belanda sering
menggelar pertandingan panca lomba (vijfkam) dan tienkam (dasa lomba). Khusus
untuk sepak bola, serdadu di tangsi-tangsi militer paling doyan bertanding.
Mereka kemudian membentuk bond sepak bola atau perkumpulan sepak bola. Dari
bond-bond itulah kemudian terbentuk satu klub besar. Tak hanya serdadu militer,
tapi juga warga Belanda, Eropa, dan Indo membuat bond-bond serupa.

Dari bond-bond itu kemudian terbentuklah Nederlandsch Indische Voetbal Bond
(NIVB) yang pada tahun 1927 berubah menjadi Nederlandsch Indische Voetbal Unie
(NIVU). Sampai tahun 1929, NIVU sering mengadakan pertandingan termasuk dalam
rangka memeriahkan pasar malam dan tak ketinggalan sebagai ajang judi. Demikian
Zeffry Alkatiri berkisah dalam Pasar Gambir, Komik Cina dan Es Shanghai.

Bond China menggunakan nama antara lain Tiong un Tong, Donar, dan UMS. Adapun
bond pribumi biasanya mengambil nama wilayahnya, seperti Cahaya Kwitang, Sinar
Kernolong, atau Si Sawo Mateng.

Zeffry menyebutkan, pada 1928 dibentuk Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ)
sebagai akibat dari diskriminasi yang dilakukan NIVB. Sebelumnya bahkan sudah
dibentuk Persatuan Sepak Bola Djakarta (Persidja) pada 1925. Pada 19 April 1930,
Persidja ikut membentuk Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di gedung
Soceiteit Hande Projo, Yogyakarta. Pada saat itu Persidja menggunakan lapangan
di Jalan Biak, Roxy, Jakpus.

Memasuki tahun 1930-an, pamor bintang lapangan Bond NIVB, G Rehatta dan de Wolf,
mulai menemui senja berganti bintang lapangan bond China dan pribumi, seperti
Maladi, Sumadi, dan Ernst Mangindaan. Pada 1933, VIJ keluar sebagai juara pada
kejuaraan PSSI ke-3.

Pada masa Jepang, semua bond sepak bola dipaksa masuk Tai Iku Koi bentukan
pemerintahan militer Jepang. Di masa ini, Taiso, sejenis senam, menggantikan
olahraga permainan. Baru setelah kemerdekaan, olahraga permainan kembali
semarak.

Tahun 1948, pesta olahraga bernama PON (Pekan Olahraga Nasional) diadakan
pertama kali di Solo. Di kala itu saja, sudah 12 cabang olahraga yang
dipertandingkan. Sejalan dengan olahraga permainan, khususnya sepak bola, yang
makin populer di masyarakat, maka kebutuhan akan berbagai kelengkapan olahraga
pun meningkat. Zeffry mencatat, di tahun 1960-1970-an, pemuda Jakarta mengenal
toko olahraga Siong Fu yang khusus menjual sepatu bola. Produk dari toko sepatu
di Pasar Senen ini jadi andalan sebelum sepatu impor menyerbu Indonesia. Selain
Pasar Senen, toko olahraga di Pasar Baru juga menyediakan peralatan sepakbola.

Pengaruh Belanda dalam dunia sepak bola di Indonesia adalah adanya istilah
henbal, trekbal (bola kembali), kopbal (sundul bola), losbal (lepas bola), dan
tendangan 12 pas. Istilah beken itu kemudian memudar manakala demam bola Inggris
dimulai sehingga istilah-istilah tersebut berganti dengan istilah persepakbolaan
Inggris. Sementara itu, hingga 1950 masih terdapat pemain indo di beberapa klub
Jakarta. Sebut saja Vander Vin di klub UMS; Van den Berg, Hercules, Niezen, dan
Pesch dari klub BBSA. Pemain indo mulai luntur di tahun 1960-an.

Komentar

Postingan Populer