Jelajah Gereja-gereja tua
Penggemar berat sejarah pasti akan jatuh cinta dengan keelokan gereja-gereja tua
yang hampir bisa Anda temukan di seluruh daerah di Indonesia. Beberapa gereja
bergaya arsitektur khas Eropa. Sementara gereja lain berakulturasi dengan budaya
setempat.
Di Jakarta, Anda bisa mampir ke Gereja Santa Maria De Fatima, Gereja Sion, dan
Gereja Katedral. Perjalanan pertama adalah Gereja Santa Maria De Fatima yang
terletak di kawasan Glodok. Saat menginjakkan kaki pertama kali di gereja ini,
bisa jadi Anda berpikir kalau Anda sudah salah jalan. Penampilan gereja Katolik
tersebut lebih mirip kelenteng daripada gereja pada umumnya. Dengan dominan
merah serta aksara Tionghoa, tak heran nuansa Tionghoa sangat kental terasa.
Pemerintah sudah menyatakan gereja tersebut sebagai cagar budaya.
Alkisah gereja ini mulanya adalah rumah Tuan Kapiten di tahun 1700, seorang tuan
tanah Tionghoa bermarga Tjioe yang terkenal kaya dan berkuasa di Batavia.
Kelompok misionaris dari Belanda kemudian membelinya di tahun 1955. Selanjutnya
fungsi bangunan tersebut dirubah dari rumah menjadi gereja. Walaupun begitu
arsitektur aslinya tak dirubah dan malah menjadi ciri khas gereja tersebut.
Sepasang singa batu atau shi shi di muka gereja menyambut pengunjung. Singa batu
khas Tionghoa sebenarnya kepercayaan orang Tionghoa yang melambangkan penjaga
dunia roh. Keunikan lainnya adalah beberapa tulisan Tionghoa yang umum ditemukan
di bangunan Tionghoa seperti tulisan ning yang berarti rezeki. Gereja ini juga
dikenal dengan nama Toasebio. Toasebio pun pun tampak serasi berdampingan dengan
vihara yang ada di kawasan yang sama serta mayoritas Tionghoa yang hidup di
sekitarnya. Seakan-akan sedang menyuarakan akulturasi dan toleransi yang
mendamaikan hati.
Kunjungan ziarah gereja selanjutnya adalah Gereja Katedral. Siapa yang tak kenal
dengan gereja megah dengan dua menara menjulang tersebut? Terletak di pusat kota
Jakarta, bangunan ini usianya sudah lebih dari 100 tahun. Apalagi gereja ini
berhadapan dengan masjid terbesar di Asia Tenggara, Masjid Istiqlal. Sebuah
simbol bahwa agama di Indonesia bisa hidup berdampingan.
Usianya yang sudah tua pun menandakan perjalanan panjangnya. Gereja ini dibangun
dengan gaya neo-gotik. Gaya neo-gotik banyak dipakai untuk gereja-gereja Katolik
di Eropa termasuk di Belanda. Jendela tinggi dan besar serta menara menjulang
menjadi ciri khas yang menonjol untuk Gereja Katedral. Gereja Katedral berdiri
di tahun 1901 namun mengalami perubahan seiring waktu. Ia pernah terbakar di
tahun 1826 dan roboh di tahun 1890. Karena itu bentuknya yang sekarang bukan
asli gereja pada mulanya.
Nama resmi gereja ini adalah De Kerk van Onze Lieve Vrowe ten Hemelopneming
(Gereja Santa Maria Diangkat Ke Surga). Di gereja tersebut ada museum yang
terbuka untuk umum. Berbagai alat ibadah dan benda rohani lain yang usianya
sudah berpuluh-puluh tahun tersimpan di museum tersebut.
Perjalanan berlanjut ke Gereja Sion yang terletak di sudut Jalan Pangeran
Jayakarta. Gereja Sion adalah gereja tertua di Jakarta yang masih berdiri hingga
saat ini. Kisah mengenai pemberkatan gereja tersebut sebagai mula peresmian
gereja berbahasa Belanda bisa Anda baca di dinding gereja. Peresmian Gereja Sion
di tahun 1695, jadi bayangkan usianya sudah lebih dari 300 tahun.
Gereja Sion mulanya bernama Portugeesche Buitenkerk. Karena pada masa kolonial
Belanda, gereja ini berada di luar tembok pusat kota Batavia. Para jemaat masa
itu adalah De Mardijkers atau Portugis Hitam yaitu keturunan Portugis hasil
percampuran orang Portugis dengan penduduk lokal. Tembok yang dibangun
pemerintah kolonial adalah untuk menerapkan kebijakan Wijkstelsel. Kebijakan
tersebut menempatkan orang di suatu kawasan berdasarkan etnis.
Ada beberapa gereja tua lainnya di Jakarta yang bisa Anda hampiri, seperti
Gereja Immanuel dan Gereja Santa Theresia. Sementara itu, ada banyak gereja tua
di luar Jakarta yang patut Anda kunjungi, misalnya Candi Hati Kudus Yesus di
Ganjuran Bantul, Yogyakarta dan Gereja Katolik Paroki Santo Yoseph di Denpasar,
Bali.
Candi Hati Kudus Yesus memiliki arsitektur yang sangat unik. Bayangkan Yesus
yang Nasrani di sebuah candi Hindu. Di gereja tersebut, Anda tidak akan
menemukan sosok Yesus pada umumnya. Di sini, Yesus tampil sebagai raja Jawa dan
berada di dalam candi. Gereja ini sangat kental akulturasi antara budaya Jawa
Hindu dan agama Kristen. Pendirinya Keluarga Schmutzer adalah orang-orang
Belanda beragama Katolik. Gereja ini diresmikan di tahun 1930.
Sementara itu Gereja Katolik Paroki Santo Yoseph merupakan gereja Katolik tertua
di Bali. Selintas Anda akan mengira gereja ini adalah pura. Gapura dan batu bata
merah khas bangunan pura memang mengecoh. Perhatikan dengan seksama dan Anda
akan menemukan patung Bunda Maria bersama bayi Yesus yang tampak di depan
bangunan. Beberapa gereja di Pulau Bali yang mayoritas beragama Hindu memang
terkenal sarat dengan akulturasi. Bahkan beberapa penduduk Bali beragama Kristen
memasang penjor dan menyanyikan kidung pujian dalam bahasa Bali saat perayaan
Natal.
yang hampir bisa Anda temukan di seluruh daerah di Indonesia. Beberapa gereja
bergaya arsitektur khas Eropa. Sementara gereja lain berakulturasi dengan budaya
setempat.
Di Jakarta, Anda bisa mampir ke Gereja Santa Maria De Fatima, Gereja Sion, dan
Gereja Katedral. Perjalanan pertama adalah Gereja Santa Maria De Fatima yang
terletak di kawasan Glodok. Saat menginjakkan kaki pertama kali di gereja ini,
bisa jadi Anda berpikir kalau Anda sudah salah jalan. Penampilan gereja Katolik
tersebut lebih mirip kelenteng daripada gereja pada umumnya. Dengan dominan
merah serta aksara Tionghoa, tak heran nuansa Tionghoa sangat kental terasa.
Pemerintah sudah menyatakan gereja tersebut sebagai cagar budaya.
Alkisah gereja ini mulanya adalah rumah Tuan Kapiten di tahun 1700, seorang tuan
tanah Tionghoa bermarga Tjioe yang terkenal kaya dan berkuasa di Batavia.
Kelompok misionaris dari Belanda kemudian membelinya di tahun 1955. Selanjutnya
fungsi bangunan tersebut dirubah dari rumah menjadi gereja. Walaupun begitu
arsitektur aslinya tak dirubah dan malah menjadi ciri khas gereja tersebut.
Sepasang singa batu atau shi shi di muka gereja menyambut pengunjung. Singa batu
khas Tionghoa sebenarnya kepercayaan orang Tionghoa yang melambangkan penjaga
dunia roh. Keunikan lainnya adalah beberapa tulisan Tionghoa yang umum ditemukan
di bangunan Tionghoa seperti tulisan ning yang berarti rezeki. Gereja ini juga
dikenal dengan nama Toasebio. Toasebio pun pun tampak serasi berdampingan dengan
vihara yang ada di kawasan yang sama serta mayoritas Tionghoa yang hidup di
sekitarnya. Seakan-akan sedang menyuarakan akulturasi dan toleransi yang
mendamaikan hati.
Kunjungan ziarah gereja selanjutnya adalah Gereja Katedral. Siapa yang tak kenal
dengan gereja megah dengan dua menara menjulang tersebut? Terletak di pusat kota
Jakarta, bangunan ini usianya sudah lebih dari 100 tahun. Apalagi gereja ini
berhadapan dengan masjid terbesar di Asia Tenggara, Masjid Istiqlal. Sebuah
simbol bahwa agama di Indonesia bisa hidup berdampingan.
Usianya yang sudah tua pun menandakan perjalanan panjangnya. Gereja ini dibangun
dengan gaya neo-gotik. Gaya neo-gotik banyak dipakai untuk gereja-gereja Katolik
di Eropa termasuk di Belanda. Jendela tinggi dan besar serta menara menjulang
menjadi ciri khas yang menonjol untuk Gereja Katedral. Gereja Katedral berdiri
di tahun 1901 namun mengalami perubahan seiring waktu. Ia pernah terbakar di
tahun 1826 dan roboh di tahun 1890. Karena itu bentuknya yang sekarang bukan
asli gereja pada mulanya.
Nama resmi gereja ini adalah De Kerk van Onze Lieve Vrowe ten Hemelopneming
(Gereja Santa Maria Diangkat Ke Surga). Di gereja tersebut ada museum yang
terbuka untuk umum. Berbagai alat ibadah dan benda rohani lain yang usianya
sudah berpuluh-puluh tahun tersimpan di museum tersebut.
Perjalanan berlanjut ke Gereja Sion yang terletak di sudut Jalan Pangeran
Jayakarta. Gereja Sion adalah gereja tertua di Jakarta yang masih berdiri hingga
saat ini. Kisah mengenai pemberkatan gereja tersebut sebagai mula peresmian
gereja berbahasa Belanda bisa Anda baca di dinding gereja. Peresmian Gereja Sion
di tahun 1695, jadi bayangkan usianya sudah lebih dari 300 tahun.
Gereja Sion mulanya bernama Portugeesche Buitenkerk. Karena pada masa kolonial
Belanda, gereja ini berada di luar tembok pusat kota Batavia. Para jemaat masa
itu adalah De Mardijkers atau Portugis Hitam yaitu keturunan Portugis hasil
percampuran orang Portugis dengan penduduk lokal. Tembok yang dibangun
pemerintah kolonial adalah untuk menerapkan kebijakan Wijkstelsel. Kebijakan
tersebut menempatkan orang di suatu kawasan berdasarkan etnis.
Ada beberapa gereja tua lainnya di Jakarta yang bisa Anda hampiri, seperti
Gereja Immanuel dan Gereja Santa Theresia. Sementara itu, ada banyak gereja tua
di luar Jakarta yang patut Anda kunjungi, misalnya Candi Hati Kudus Yesus di
Ganjuran Bantul, Yogyakarta dan Gereja Katolik Paroki Santo Yoseph di Denpasar,
Bali.
Candi Hati Kudus Yesus memiliki arsitektur yang sangat unik. Bayangkan Yesus
yang Nasrani di sebuah candi Hindu. Di gereja tersebut, Anda tidak akan
menemukan sosok Yesus pada umumnya. Di sini, Yesus tampil sebagai raja Jawa dan
berada di dalam candi. Gereja ini sangat kental akulturasi antara budaya Jawa
Hindu dan agama Kristen. Pendirinya Keluarga Schmutzer adalah orang-orang
Belanda beragama Katolik. Gereja ini diresmikan di tahun 1930.
Sementara itu Gereja Katolik Paroki Santo Yoseph merupakan gereja Katolik tertua
di Bali. Selintas Anda akan mengira gereja ini adalah pura. Gapura dan batu bata
merah khas bangunan pura memang mengecoh. Perhatikan dengan seksama dan Anda
akan menemukan patung Bunda Maria bersama bayi Yesus yang tampak di depan
bangunan. Beberapa gereja di Pulau Bali yang mayoritas beragama Hindu memang
terkenal sarat dengan akulturasi. Bahkan beberapa penduduk Bali beragama Kristen
memasang penjor dan menyanyikan kidung pujian dalam bahasa Bali saat perayaan
Natal.
Komentar
Posting Komentar