KESAKSIAN ZAKARYIA EZZAT
Namaku adalah Zakaryia Ezzat. Aku lahir di US (United States = Amerika
Serikat = AS) dari ayah Muslim Sunni Mesir dan ibu Kristen Protestan Amerika
keturunan Scottland (Inggris). Tak lama sebelum aku lahir, terjadi hal
penting yang nantinya akan menentukan keadaan lingkunganku. Ibuku dipaksa
oleh Mesjid Islam di Lansing, Michigan, untuk menandatangani kontrak yang
berisi dia harus membesarkan aku dan saudara perempuan kembarku bernama
Sarah sebagai Muslim, dan tidak secara Kristen. Sewaktu aku lahir, ayahku
membisikanku Syahadat Islam “la Illaha ilAllâh wa Muhammad Rasul Allâh”
sebagai tanda aku terlahir sebagai Muslim. Sejak saat itu, aku berdasarkan
nama dan lingkunganku, aku wajib hidup sebagai Muslim.
Ketika aku berusia 2 tahun, keluargaku pindah ke Kairo, Mesir. Kami hidup di
daerah terkenal Kairo bernama Seyata Zeynab. Di saat itulah hidupku semakin
menyatu dengan Islam. Meskipun ibuku adalah Kristen taat, dia tidak pernah
memaksakan kepercayaannya pada anak²nya. Ibuku tahu jika anak²nya tinggal
terus di Mesir, maka kami pun tidak hanya jadi Muslim tapi juga tidak akan
pernah mengenal lingkungan bebas kepercayaan. Di dunia Barat, kebebasan
beragama dianggap lumrah, tapi tiada toleransi beragama di Mesir, kecuali
jika kau adalah Muslim Sunni. Lebih dari itu, jika aku murtad dan lalu
memeluk Kristen, maka aku akan dibunuh atau dipenjara. Hal ini karena di
Mesir, Muslim dilarang beralih agama. Jika ayahmu Muslim, maka kau sudah
jelas harus jadi Muslim dan hal ini tidak boleh diganggu-gugat. Hanya dengan
pemaksaan seperti inilah maka Islam bisa terus eksis di lingkungan
masyarakat. Jika terdapat kebebasan, maka tentunya banyak Muslim
meninggalkan Islam, dan sirnalah Islam sebagai agama dominan.
Ibuku berhasil meninggalkan Mesir sewaktu aku berusia 4 tahun. Ayahku tidak
bisa segera mengikuti kami karena Pemerintah Mesir tidak mengijinkan dia
meninggalkan negeri itu. Akhirnya ayah berhasil dapat kerjaan di US sebagai
professor dan karenanya bisa datang ke US dan bergabung bersama aku, ibuku,
dan saudara perempuanku. Sejak saat itu, ayahku senantiasa membawaku dan
saudara perempuanku ke mesjid setiap hari Jum’at. Bukan di Mesir, tapi di
US-lah aku belajar tentang Islam. Agar mahir berbahasa Arab, ayahku meminta
ustadz Ahmed Al-Jamal dari Pusat Islam di Mt. Pleasant, Michigan, untuk
mengajarku. Suatu hari kami sedang membahas kata². Satu kata yang tercantum
adalah “Israel” dan Ahmad lalu berteriak pada buku itu dan melihatku dan
mengajarku kalimat pertama Arab yang berbunyi “Ana bakrah Yisrael” yang
artinya adalah “Aku benci Israel.”
Setiap hari Jum’at di mesjid aku belajar tentang hal² dasar Islam. Aku pun
segera tahu bahwa mesjid menyebarkan kebencian luar biasa terhadap Yahudi
dan Amerika. Kaum Yahudi dipandang sebagai manusia paling rendah dan tidak
dapat dipercaya sama sekali. Tatkala aku mendengar khotbah² penuh kebencian
luar biasa, aku tidak menanggapinya secara serius atau malah mengabaikan
begitu saja. Saat aku masih jadi mahasiswa tingkat satu, aku ingat satu
khotbah yang disampaikan oleh seorang Palestina bernama Tariq di mesjid Mt.
Pleasant, Michigan. Fokus khotbahnya adalah perbuatan² keji Yahudi dan
penindasan terhadap masyarakat Arab. Di akhir khotbah dia berkata bahwa jika
dia ada di Palestina saat ini, maka dia akan jadi pembom bunuh diri. Tariq
bukanlah orang yang tak berpendidikan. Sebaliknya, dia adalah profesor
fisika yang sangat cerdas di Central Michigan University. Orang
berpendidikan ini baru saja mengakui di hadapan semua umat di mesjid bahwa
dia akan melakukan tindakan teroris. Terorisme di Timur Tengah merupakan
buah dari ajaran² fundamental Qur’an. Kesimpulanku ini kuyakini bukan karena
aku jadi pejuang al-Qaeda, tapi dari mengunjungi sekitar 20 mesjid di
berbagai daerah di US. Lagipula, setelah Tariq selesai berkhotbah, tiada
satu pun umat Muslim yang menyangkal atau mempertanyakan pernyataannya. Ini
menunjukkan bahwa umat Muslim di mesjid itu pun setuju atau mendukung
niatnya.
Di semester pertama perguruan tinggi, kuliah tahun kedua, aku tinggal di
asrama mahasiswa di kampus. Di saat itu aku berteman dengan orang Yemen
bernama Khalid. Selain kami, tiada orang Arab dan Muslim di asrama, sehingga
kami pun jadi akrab. Suatu hari kami makan bersama di kantin bersama para
mahasiswa lainnya. Kami semua bicara tentang Arab, Yahudi, dan kedudukan
negara Israel. Khalid bicara bahwa dia tidak benci Yahudi dan Yahudi punya
kedudukan tinggi dalam Qur’an karena mereka adalah masyarakat ahli kitab.
Tapi setelah para mahasiswa lain selesai makan dan meninggalkan meja, Khalid
berbisik padaku, “Zakaryia, suatu hari nanti kita akan memerangi dan bunuh
Yahudi, dan kita akan menang.” Sungguh menarik bahwasanya sikapnya jadi
sangat berubah setelah para kafir meninggalkan meja.
Pada saat kuliah semester kedua, tahun ketiga, aku mengunjungi Mesir untuk
mengikuti program intensi di Alexandria University. Aku mengunjungi
keluargaku di Kairo. Aku banyak bercakap-cakap dengan saudara misanku yang
bernama Khalid. Khalid banyak bicara tentang Islam dan agama. Suatu saat
dalam percakapan aku berkata pada Khalid, “Tuhan mencintai semua orang,
bukan?” Khalid berkata padaku, “Tidak. Tuhan tidak mencintai semua orang.
Dia menginginkan orang jadi baik, tapi dia tidak cinta semua orang.
Perkataanmu itu sangat berbau Kristen.”
Selama aku di Mesir, aku sering mengunjungi kawanku Ibrahim di toko tempat
cuci baju dry-cleaner. Orang² di sana menganggapku sebagai Muslim sehingga
mereka tidak merubah cara bicara seperti jika bicara dengan kafir Barat.
Suatu hari seorang insinyur kaya datang ke dry cleaner itu dan dia
memandangku dan bertanya siapa namaku. Aku lalu memberitahunya. Dia dia
sebentar dan bertanya apakah aku Muslim, dan aku menganggukkan kepala. Dia
lalu duduk bersamaku dan mulai berkhotbah tentang Islam padaku. Dia terutama
membicarakan Hari Kiamat di literatur Islam. Katanya, Hari Kiamat Islam
tidak akan datang sebelum terjadi perang besar antara umat Muslim vs. Yahudi
(dan juga Kristen yang ogah memeluk Islam). Dia mengutip Hadis Sahih
Bukhari, buku 52, nomer 176-177 yang menyatakan: “Rasul Allâh berkata, “Kau
(Muslim) harus memerangi kaum Yahudi sampai mereka bersembunyi di belakang
batu². Batu² akan mengkhianati mereka dan berkata, “Wahai Abdullah (budak
Allâh), ada Yahudi nih bersembunyi di belakangku; bunuh dia.”
Pendek kata, dia menjelaskan padaku bahwa di Hari Kiamat, kami para Muslim
akan membantai seluruh umat Yahudi di dunia. Dia lalu menjelaskan padaku
bahwa damai di bumi hanya akan terjadi setelah Islam jadi agama dunia dan
setiap kafir dibunuh atau ditundukkan oleh negara Islam. Pria Muslim ini
bukanlah Muslim radikal, tapi dia adalah insinyur kaya-raya yang
berpendidikan tinggi. Terlebih lagi, dia tidak asal bicara tanpa referensi;
semua yang dikatakannya didukung Qur’an dan ahadis.
Sewaktu aku mulai membaca Qur’an dalam bahasa Arab, aku mulai lebih mengerti
ajaran² Qur’an dan Islam secara umum. Titik balik pandanganku terjadi saat
aku membaca Qur’an Sura 9 ayat 5 yang menyatakan: Apabila sudah habis
bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja
kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di
tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan mendirikan salat dan menunaikan
zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya
Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Saat itu aku sedang berada di kamar yang kusewa dengan seorang rekan. Aku
melihat Alkitab di sisi tempat tidurnya. Aku bertanya padanya apakah aku
boleh meminjamnya. Dia mempersilakan dan aku pun mulai membaca Alkitab. Aku
melihat pesan kasih dan toleransi dari Alkitab dan pesan itu sangat berbekas
dalam hatiku. Meskipun aku mendapat pengaruh Kristen dari ibuku, baru
setelah membaca Alkitablah aku mengambil keputusan serius untuk mengijinkan
Yesus Kristus masuk dalam hidupku. Ibuku sangat bahagia ketika aku jadi
Kristen karena dia mengira aku masih Muslim. Akan tetapi, aku belum berani
mengaku sebagai Kristen karena latar belakang Islamku yang kental dan
hukuman mati bagi murtadin.
Sekembalinya ke US, aku tidak langsung menunjukkan diriku telah murtad dan
memeluk Kristen. Aku tetap mengunjungi mesjid setiap hari Jum’at. Suatu hari
aku berada di mesjid dan melihat seorang pria bule membawa kamera besar. Aku
bertanya pada temanku Syarif siapakah orang itu. Syarif berkata padaku bahwa
orang itu adalah wartawan dari Reno Gazette Journal dan dia sedang menyusun
tulisan tentang Islam. Syarif lalu berbisik padaku, “Aku harus
memperingatkan Imam untuk bersikap lain.” Jika Islam memang adalah agama
damai, mengapa lalu Imam harus berpura-pura dan berubah sikap setiap kali
kafir datang untuk menelaah?
Semua hal berubah setelah aku mengundang Walid Shoebat dan Kamal Salim untuk
bicara di kampus. Kedua orang ini dianggap umat Muslim sebagai musuh
terbesar Islam karena mereka adalah murtadin yang memeluk Kristen.
Mengundang mereka untuk bicara di kampus tentunya mengundang pertanyaan
apakah aku ini Muslim atau Kristen. Tak lama kemudian, semua Muslim di
lingkunganku mengetahui bahwa aku telah murtad. Aku pun lalu mengalami
berbagai penindasan dan tuduhan sebagai rasis, islamofobik, dll.
Description: Image
DVD kesaksian dari Kamal Salim, http://www.koomeministries.com/saleem.htm
Description: Image
Walid Shoebat, http://www.shoebat.com/
Yang terpenting yang harus kulakukan adalah mengasihi semua orang yang
membenciku karena aku tidak bisa melawan benci dengan benci. Sebagai orang
Kristen, aku harus mencintai semua orang, termasuk Yahudi di Israel dan
Muslim di dunia Arab. Untuk melawan kebencian, kau harus mengungkapkan
kebencian itu terlebih dahulu, dan dengan cara itu, banyak Muslim yang
sedang dalam keadaan status quo (mempertanyakan keberadaan diri dan iman)
akan menyadari apakah Islam yang sebenarnya dan lalu berbalik membantu pihak
Barat. Apa yang mereka lihat sekarang adalah kelemahan pihak Barat dan
mereka mengira mereka akan terancam jika bergabung dengan pihak Barat.
Serikat = AS) dari ayah Muslim Sunni Mesir dan ibu Kristen Protestan Amerika
keturunan Scottland (Inggris). Tak lama sebelum aku lahir, terjadi hal
penting yang nantinya akan menentukan keadaan lingkunganku. Ibuku dipaksa
oleh Mesjid Islam di Lansing, Michigan, untuk menandatangani kontrak yang
berisi dia harus membesarkan aku dan saudara perempuan kembarku bernama
Sarah sebagai Muslim, dan tidak secara Kristen. Sewaktu aku lahir, ayahku
membisikanku Syahadat Islam “la Illaha ilAllâh wa Muhammad Rasul Allâh”
sebagai tanda aku terlahir sebagai Muslim. Sejak saat itu, aku berdasarkan
nama dan lingkunganku, aku wajib hidup sebagai Muslim.
Ketika aku berusia 2 tahun, keluargaku pindah ke Kairo, Mesir. Kami hidup di
daerah terkenal Kairo bernama Seyata Zeynab. Di saat itulah hidupku semakin
menyatu dengan Islam. Meskipun ibuku adalah Kristen taat, dia tidak pernah
memaksakan kepercayaannya pada anak²nya. Ibuku tahu jika anak²nya tinggal
terus di Mesir, maka kami pun tidak hanya jadi Muslim tapi juga tidak akan
pernah mengenal lingkungan bebas kepercayaan. Di dunia Barat, kebebasan
beragama dianggap lumrah, tapi tiada toleransi beragama di Mesir, kecuali
jika kau adalah Muslim Sunni. Lebih dari itu, jika aku murtad dan lalu
memeluk Kristen, maka aku akan dibunuh atau dipenjara. Hal ini karena di
Mesir, Muslim dilarang beralih agama. Jika ayahmu Muslim, maka kau sudah
jelas harus jadi Muslim dan hal ini tidak boleh diganggu-gugat. Hanya dengan
pemaksaan seperti inilah maka Islam bisa terus eksis di lingkungan
masyarakat. Jika terdapat kebebasan, maka tentunya banyak Muslim
meninggalkan Islam, dan sirnalah Islam sebagai agama dominan.
Ibuku berhasil meninggalkan Mesir sewaktu aku berusia 4 tahun. Ayahku tidak
bisa segera mengikuti kami karena Pemerintah Mesir tidak mengijinkan dia
meninggalkan negeri itu. Akhirnya ayah berhasil dapat kerjaan di US sebagai
professor dan karenanya bisa datang ke US dan bergabung bersama aku, ibuku,
dan saudara perempuanku. Sejak saat itu, ayahku senantiasa membawaku dan
saudara perempuanku ke mesjid setiap hari Jum’at. Bukan di Mesir, tapi di
US-lah aku belajar tentang Islam. Agar mahir berbahasa Arab, ayahku meminta
ustadz Ahmed Al-Jamal dari Pusat Islam di Mt. Pleasant, Michigan, untuk
mengajarku. Suatu hari kami sedang membahas kata². Satu kata yang tercantum
adalah “Israel” dan Ahmad lalu berteriak pada buku itu dan melihatku dan
mengajarku kalimat pertama Arab yang berbunyi “Ana bakrah Yisrael” yang
artinya adalah “Aku benci Israel.”
Setiap hari Jum’at di mesjid aku belajar tentang hal² dasar Islam. Aku pun
segera tahu bahwa mesjid menyebarkan kebencian luar biasa terhadap Yahudi
dan Amerika. Kaum Yahudi dipandang sebagai manusia paling rendah dan tidak
dapat dipercaya sama sekali. Tatkala aku mendengar khotbah² penuh kebencian
luar biasa, aku tidak menanggapinya secara serius atau malah mengabaikan
begitu saja. Saat aku masih jadi mahasiswa tingkat satu, aku ingat satu
khotbah yang disampaikan oleh seorang Palestina bernama Tariq di mesjid Mt.
Pleasant, Michigan. Fokus khotbahnya adalah perbuatan² keji Yahudi dan
penindasan terhadap masyarakat Arab. Di akhir khotbah dia berkata bahwa jika
dia ada di Palestina saat ini, maka dia akan jadi pembom bunuh diri. Tariq
bukanlah orang yang tak berpendidikan. Sebaliknya, dia adalah profesor
fisika yang sangat cerdas di Central Michigan University. Orang
berpendidikan ini baru saja mengakui di hadapan semua umat di mesjid bahwa
dia akan melakukan tindakan teroris. Terorisme di Timur Tengah merupakan
buah dari ajaran² fundamental Qur’an. Kesimpulanku ini kuyakini bukan karena
aku jadi pejuang al-Qaeda, tapi dari mengunjungi sekitar 20 mesjid di
berbagai daerah di US. Lagipula, setelah Tariq selesai berkhotbah, tiada
satu pun umat Muslim yang menyangkal atau mempertanyakan pernyataannya. Ini
menunjukkan bahwa umat Muslim di mesjid itu pun setuju atau mendukung
niatnya.
Di semester pertama perguruan tinggi, kuliah tahun kedua, aku tinggal di
asrama mahasiswa di kampus. Di saat itu aku berteman dengan orang Yemen
bernama Khalid. Selain kami, tiada orang Arab dan Muslim di asrama, sehingga
kami pun jadi akrab. Suatu hari kami makan bersama di kantin bersama para
mahasiswa lainnya. Kami semua bicara tentang Arab, Yahudi, dan kedudukan
negara Israel. Khalid bicara bahwa dia tidak benci Yahudi dan Yahudi punya
kedudukan tinggi dalam Qur’an karena mereka adalah masyarakat ahli kitab.
Tapi setelah para mahasiswa lain selesai makan dan meninggalkan meja, Khalid
berbisik padaku, “Zakaryia, suatu hari nanti kita akan memerangi dan bunuh
Yahudi, dan kita akan menang.” Sungguh menarik bahwasanya sikapnya jadi
sangat berubah setelah para kafir meninggalkan meja.
Pada saat kuliah semester kedua, tahun ketiga, aku mengunjungi Mesir untuk
mengikuti program intensi di Alexandria University. Aku mengunjungi
keluargaku di Kairo. Aku banyak bercakap-cakap dengan saudara misanku yang
bernama Khalid. Khalid banyak bicara tentang Islam dan agama. Suatu saat
dalam percakapan aku berkata pada Khalid, “Tuhan mencintai semua orang,
bukan?” Khalid berkata padaku, “Tidak. Tuhan tidak mencintai semua orang.
Dia menginginkan orang jadi baik, tapi dia tidak cinta semua orang.
Perkataanmu itu sangat berbau Kristen.”
Selama aku di Mesir, aku sering mengunjungi kawanku Ibrahim di toko tempat
cuci baju dry-cleaner. Orang² di sana menganggapku sebagai Muslim sehingga
mereka tidak merubah cara bicara seperti jika bicara dengan kafir Barat.
Suatu hari seorang insinyur kaya datang ke dry cleaner itu dan dia
memandangku dan bertanya siapa namaku. Aku lalu memberitahunya. Dia dia
sebentar dan bertanya apakah aku Muslim, dan aku menganggukkan kepala. Dia
lalu duduk bersamaku dan mulai berkhotbah tentang Islam padaku. Dia terutama
membicarakan Hari Kiamat di literatur Islam. Katanya, Hari Kiamat Islam
tidak akan datang sebelum terjadi perang besar antara umat Muslim vs. Yahudi
(dan juga Kristen yang ogah memeluk Islam). Dia mengutip Hadis Sahih
Bukhari, buku 52, nomer 176-177 yang menyatakan: “Rasul Allâh berkata, “Kau
(Muslim) harus memerangi kaum Yahudi sampai mereka bersembunyi di belakang
batu². Batu² akan mengkhianati mereka dan berkata, “Wahai Abdullah (budak
Allâh), ada Yahudi nih bersembunyi di belakangku; bunuh dia.”
Pendek kata, dia menjelaskan padaku bahwa di Hari Kiamat, kami para Muslim
akan membantai seluruh umat Yahudi di dunia. Dia lalu menjelaskan padaku
bahwa damai di bumi hanya akan terjadi setelah Islam jadi agama dunia dan
setiap kafir dibunuh atau ditundukkan oleh negara Islam. Pria Muslim ini
bukanlah Muslim radikal, tapi dia adalah insinyur kaya-raya yang
berpendidikan tinggi. Terlebih lagi, dia tidak asal bicara tanpa referensi;
semua yang dikatakannya didukung Qur’an dan ahadis.
Sewaktu aku mulai membaca Qur’an dalam bahasa Arab, aku mulai lebih mengerti
ajaran² Qur’an dan Islam secara umum. Titik balik pandanganku terjadi saat
aku membaca Qur’an Sura 9 ayat 5 yang menyatakan: Apabila sudah habis
bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja
kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di
tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan mendirikan salat dan menunaikan
zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya
Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Saat itu aku sedang berada di kamar yang kusewa dengan seorang rekan. Aku
melihat Alkitab di sisi tempat tidurnya. Aku bertanya padanya apakah aku
boleh meminjamnya. Dia mempersilakan dan aku pun mulai membaca Alkitab. Aku
melihat pesan kasih dan toleransi dari Alkitab dan pesan itu sangat berbekas
dalam hatiku. Meskipun aku mendapat pengaruh Kristen dari ibuku, baru
setelah membaca Alkitablah aku mengambil keputusan serius untuk mengijinkan
Yesus Kristus masuk dalam hidupku. Ibuku sangat bahagia ketika aku jadi
Kristen karena dia mengira aku masih Muslim. Akan tetapi, aku belum berani
mengaku sebagai Kristen karena latar belakang Islamku yang kental dan
hukuman mati bagi murtadin.
Sekembalinya ke US, aku tidak langsung menunjukkan diriku telah murtad dan
memeluk Kristen. Aku tetap mengunjungi mesjid setiap hari Jum’at. Suatu hari
aku berada di mesjid dan melihat seorang pria bule membawa kamera besar. Aku
bertanya pada temanku Syarif siapakah orang itu. Syarif berkata padaku bahwa
orang itu adalah wartawan dari Reno Gazette Journal dan dia sedang menyusun
tulisan tentang Islam. Syarif lalu berbisik padaku, “Aku harus
memperingatkan Imam untuk bersikap lain.” Jika Islam memang adalah agama
damai, mengapa lalu Imam harus berpura-pura dan berubah sikap setiap kali
kafir datang untuk menelaah?
Semua hal berubah setelah aku mengundang Walid Shoebat dan Kamal Salim untuk
bicara di kampus. Kedua orang ini dianggap umat Muslim sebagai musuh
terbesar Islam karena mereka adalah murtadin yang memeluk Kristen.
Mengundang mereka untuk bicara di kampus tentunya mengundang pertanyaan
apakah aku ini Muslim atau Kristen. Tak lama kemudian, semua Muslim di
lingkunganku mengetahui bahwa aku telah murtad. Aku pun lalu mengalami
berbagai penindasan dan tuduhan sebagai rasis, islamofobik, dll.
Description: Image
DVD kesaksian dari Kamal Salim, http://www.koomeministries.com/saleem.htm
Description: Image
Walid Shoebat, http://www.shoebat.com/
Yang terpenting yang harus kulakukan adalah mengasihi semua orang yang
membenciku karena aku tidak bisa melawan benci dengan benci. Sebagai orang
Kristen, aku harus mencintai semua orang, termasuk Yahudi di Israel dan
Muslim di dunia Arab. Untuk melawan kebencian, kau harus mengungkapkan
kebencian itu terlebih dahulu, dan dengan cara itu, banyak Muslim yang
sedang dalam keadaan status quo (mempertanyakan keberadaan diri dan iman)
akan menyadari apakah Islam yang sebenarnya dan lalu berbalik membantu pihak
Barat. Apa yang mereka lihat sekarang adalah kelemahan pihak Barat dan
mereka mengira mereka akan terancam jika bergabung dengan pihak Barat.
Komentar
Posting Komentar