Melihat Indonesia dari Korea Selatan

Mungkin tidak banyak di antara kita yang
masih ingat, bahwa Indonesia dan Korea Selatan sama-sama memulai pembangunan
ekonomi pada akhir tahun 60-an. Situasi dan kondisi kedua negara pada waktu itu
banyak sekali kesamaannya; antara lain sama-sama negara agraris, situasi
ekonomi morat-marit, sedang transisi politik, menjadi satelit Barat, dipimpin
oleh rezim militer dan tidak ada kepastian hukum.

SAMPAI tahun 60-an, Korea hanyalah sepenggal daratan di benua Asia dan sebuah
bangsa yang keberadaannya terlupakan sepanjang sejarah dunia. Selama ribuan
tahun eksistensi mereka tenggelam di balik bayang-bayang kebesaran ras Cina dan new kid on the block bernama Jepang
yang budayanya menggetarkan dunia barat.

Keberadaan bangsa Korea baru menarik perhatian setelah pecahnya Perang Korea.
Sejatinya itu sebuah perang saudara jadi-jadian, namun tetap amat tragis,
lantaran wilayah negara itu menjadi episentrum perebuatan hegemoni di Asia antara
dua super power, yaitu Amerika Serikat (BlokBarat) dan Uni Soviet (Blok Timur).

Pada saat yang sama, dunia barat sedang terpesona oleh cahaya yang menyilaukan
dari sebuah kepulauan di Asia Tenggara. Disana, di kaki benua Asia itu, sebuah
negara muda, sebuah bangsa baru dari gabungan ratusan suku, sedang sibuk
berdebat mengenai ideologi dan sistem kenegaraan yang ideal. Presidennya
bernama Soekarno alias Bung Karno.

Waktu itu Korea tidak punya tokoh sekaliber Bung Karno, yang dengan
kelihaiannya memainkan diplomasi internasional berhasil memaksa Belanda
mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua. Bung Karno juga menjadi tokoh panutan
bangsa-bangsa di Asia, Afrika dan Amerika Latin; yang kemudian satu per satu
mengikuti jejak Indonesia menyatakan kemerdekaan negara mereka.

Singkat cerita, Indonesia memiliki satu keunggulan kecil dibanding Korea
Selatan, ketika kedua negara sama-sama memulai pembangunan ekonomi pada akhir
tahun 60-an. Di luar itu, situasi dan kondisi kedua negara banyak kesamaan di
segala bidang.

Indonesia ketika itu dipimpin oleh Jenderal Soeharto, sedangkan Korsel dipimpin
Jenderal Park Chung-hee. Soeharto tampil sebagai diktator setelah berhasil
menjatuhkan Bung Karno, dimana proses kudeta yang cantik itu mendapat bantuan
dan dukungan dari dunia barat. Sedangkan Park tampil sebagai pemimpin setelah
Perang Korea reda, bisa dikatakan karena mendapat mandat dari Blok Barat,
kendati secara formal Korsel diakui sebagai negara berdaulat.

Garis start

Korsel memulai pembangunan ekonominya dalam keadaan perang baru saja reda.
Kontak senjata kecil-kecilan masih sering terjadi di Pamunjom, daerah demarkasi
militer yang membelah Korsel dan Korea Utara. Pamunjom hanya berjarak 45
kilometer dari ibukota Seoul. Jadi bisa kita bayangkan, andaikata pasukan Utara
menyerbu, mereka hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam untuk mencapai
Seoul.

Dalam kaitannya dengan bahaya komunis tersebut, yang merupakan isu utama di
dunia barat dan negara-negara satelitnya pada dekade 60-an sampai 80-an, posisi
Korsel dan Indonesia bisa dibilang sama dan sejajar. Kedua negara adalah sekutu
utama Blok Barat di kawasan masing-masing, Korsel di Asia Timur jauh dan
Indonesia di Asia Tenggara.

Memang ada sedikit bedanya, yaitu Korsel menjadi pion penting dan sekaligus kancah
pertarungan frontal Blok Barat dengan Blok Timur. Sedangkan Indonesia nilai
strategisnya sebagai sekutu Barat tidaklah sepenting itu, karena kekuatan
komunis di Asia Tenggara relatif kecil dan terpecah dua, ada yang berkiblat ke
Cina dan ada yang berinduk ke Uni Soviet. Indonesia cuma sekadar sebagai
bendungan, agar ideologi komunis yang mengalir dari Indocina tidak meluber
sampai ke Australia. Dalam rangka inilah rezim Soeharto mencaplok Timor Timur
pada tahun 1975, sesuai instruksi Gedung Putih.(Lihat buku Nation In
Waiting karya Adam Schwarz)

Adanya bahaya komunis yang nyata membawa dua keuntungan bagi Korsel. Pertama,
negara itu mendapat dana bantuan militer bernilai milyaran dolar dari barat.
Kedua, negara itu memiliki legitimasi yang kuat untuk memberlakukan wajib
militer bagi semua warga negaranya, yang kemudian menumbuhkan disiplin dan etos
kerja yang tinggi secara nasional.

Pembangunan ekonomi vs Indoktrinasi

Kalau dibandingkan masa-masa permulaan pembangunan ekonomi di Korsel dan
Indonesia, yang membedakan hanya masalah prioritas dan kemudian strategi yang
dipilih. Rezim militer Korsel langsung fokus pada pembangunan ekonomi dengan
prioritas modernisasi pertanian, sambil membangun pondasi industri. Pada waktu
itu hampir 85Â % penduduk Korsel bekerja di sektor pertanian.

Pada saat yang sama dan berlanjut hingga pertengahan tahun 80-an, konsentrasi
rezim Soeharto terpecah antara pembangunan ekonomi dan upaya memantapkan
kekuasaan rezimnya. Sebenarnya tidak ada resistensi yang berarti waktu itu,
namun Soeharto selalu merasa tidak aman sebelum pemujaan rakyat terhadap Bung
Karno terkikis habis. Hampir dua dekade Soeharto menghabiskan masa kekuasaannya
untuk melakukan de-sukarnoisasi, dilanjutkan program indoktrinasi yang sangat
masif dan intensif; termasuk penataran P4 dan kooptasi semua unsur masyarakat.

Faktor paranoid inilah yang membuat Soeharto lebih percaya pada pengusaha
keturunan Cina, yang nota bene hanya jago berdagang, sehingga bisnis di
Indonesia sangat bergantung pada proyek-proyek pemerintah dan berwatak rent
seeker. Di sisi lain, modernisasi pertanian tidak bisa berjalan karena sebagian
besar petani di Jawa tidak memiliki lahan, sehingga Soeharto terpaksa meniru
program transmigrasi peninggalan kolonial. Proyek ini banyak menghabiskan
anggaran, sebagian besar dikorupsi oleh kalangan birokrat dan kaki tangan
militer yang mendadak dangdut jadi pengusaha.

Kembali ke Korea Selatan, dengan adanya wajib militer secara nasional, negara
itu tidak mengalami kesulitan mengerahkan rakyatnya melakukan modernisasi
pertanian. Roda perekonomian pun segera berputar karena semua orang bekerja dan
punya penghasilan. Dengan sistem rodi berbasis patriotisme ini, didukung
penguasaan ilmu dan teknologi pertanian, dalam waktu singkat agrobisnis mengalami
booming di Korsel. Padahal sebagian besar wilayahnya merupakan perbukitan yang
tandus, kecuali daerah sepanjang aliran sungai Han-gang yang memang sangat
subur.

Kemajuan pertanian yang luar biasa itu menjadi pijakan kokoh untuk memulai
industrialisasi. Dengan menyisihkan sebagian dana bantuan militer dari barat,
Korsel memberikan modal kepada sejumlah pengusaha untuk membangun industri
manufaktur. Merekalah yang menjadi cikal bakal Chaebol, konglomerasi khas
Korsel yang kini muncul sebagai pemain global dengan daya saing yang amat
tangguh, antara lain Samsung, Hyundai, Daewoo dan Lucky Goldstar (LG).

Kini, kendati Korsel sudah menjelma menjadi negara industri raksasa, sektor
pertanian masih memainkan peran penting dan ikut menyumbang devisa yang
signifikan. Penduduk yang bekerja di sektor pertanian, dewasa ini, hanya
sekitar 10 %. Namun produk pertanian mereka justru meningkat enam kali lipat
dibanding akhir tahun 60-an.

Korsel kini menguasai pasar dunia untuk produk farmasi dan ekstrak ginseng,
serta memonopoli pasar Amerika untuk komoditi kim-chi, sejenis sawi yang
difermentasi. Sedangkan para petani palawija di Tanah Karo masih tetap
mengekspor sayuran segar ke Hongkong dan Singapura, sama seperti 40 tahu silam,
namun dengan keuntungan yang makin kecil lantaran tata niaga pupuk dan
pestisida sudah menjelma menjadi instrumen penghisapan.


Â
Korupsi vs kolusi

Membandingkan Indonesia dengan Korsel memang sangat menarik, terutama karena
perbedaan nasib kedua negara yang sangat kontras 40 tahun kemudian. Sepintas
tidak banyak perbedaan perilaku rezim di kedua negara itu, sehingga tidak
terlalu gampang menjelaskan secara singkat mengapa kemajuan kedua negara bisa
begitu jomplang.
Â
Selain dua
faktor yang telah disebutkan tadi, yaitu wajib militer yang berlaku secara
nasional dan pembangunan ekonomi yang fokus, konsekwen dan konsisten; tampaknya
faktor penting lainnya lantaran pemegang kekuasaan di Korsel bersifat kolektif,
sebaliknya Soeharto kemudian menjelma menjadi penguasa tunggal atau diktator
yang untouchable.
Â
Orang sering
bilang Indonesia menjadi amburadul seperti sekarang ini akibat korupsi. Korsel
pun setali tiga uang. Perilaku korupsi di negara itu tidak kalah parah
dibanding di Indonesia. Perbedaannya hanya dua : Korsel sudah menghukum
tiga presidennya (Chun Doo-hwan, Roh Tae-woo, Kim Young-sam) lantaran terlibat
korupsi dan disana tidak ada praktek kolusi seperti di Indonesia. Sedangkan di
negara tercinta ini, hanya koruptor kelas teri yang berhasil diproses secara hukum,
sementara praktek merampok kekayaan negara sudah semakin canggih melalui
kolusi.
Â
Kolusi lebih
mematikan dibanding korupsi. Ibarat mencuri, korupsi adalah mengambil sebagian
uang dari brankas, sedangkan kolusi mengambil semua brankasnya tanpa harus menggotongnya.
Cukup dengan memainkan aturan hukum, brankas tadi sudah berpindah hak tanpa
yang bersangkutan harus mengotori tangannya atau berkeringat menggotongnya.
Praktek inilah yang dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya, dengan menciptakan
berbagai tataniaga, penguasaan sumber daya alam, pemerasan secara legal dengan
memperdaya konsumen, praktek monopoli dan oligopoli, dst, dst.
Â
Sebenarnya sampai pertengahan tahun 70-an,
Soeharto masih relatif bersih, namun memang sudah menjadi rahasia umum
bagaimana isterinya berperan sebagai makelar proyek. Meningkat ke tahun 80-an
praktek kolusi yang amat canggih itu mulai mereka praktekkan, diawali dengan
liberalisasi ekonomi dan privatisasi usaha yang berkaitan dengan kepentingan
umum. Dalam hal ini para pemimpin Korsel tidak ada apa-apanya dibanding
Soeharto dan kroni-kroninya. Suruh orang-orang Korea itu belajar ke Cendana!


Olimpiade, Piala Dunia, Sekjen PBB

Bagaimana dengan demokratisasi dan kepastian hukum? Sampai sekarang Korsel
masih kalah dari Indonesia dalam dua hal itu. Maksudku, secara prosedural
demokratisasi dan kepastian hukum di Indonesia jauh lebih maju dibanding Negeri
Ginseng itu. Sayang, cuma prosedural.

Perlawanan mahasiswa dan pejuang HAM di Korsel kurang lebih sama saja dengan di
Indonesia. Banyak peristiwa kekerasan, berdarah-darah dan pembunuhan aktivis.
Dan sampai sekarang cengkeraman politik militer masih sangat kuat di negara
itu, sehingga proses demokratisasi berjalan sangat lambat. Namun bedanya dengan
di Indonesia, setiap kemajuan kecil yang dicapai dalam proses demokratisasi di
Korsel selalu menimbulkan perubahan yang nyata alias down on earth.
Sedangkan disini semuanya berujung pada tataran prosedural formal alias
bersifat seolah-olah.

Kini kita menyaksikan Korsel tampil sebagai negara maju yang sangat disegani di
dunia. Pencapaian itu mereka rayakan bukan dengan membuat klaim-klaim sepihak
gaya Indonesia, tapi dengan mengibarkan bendera mereka di panggung
internasional dengan megahnya. Dimulai dengan menjadi penyelenggara Olimpiade,
yang menempatkan Korsel sebagai negara kedua di Asia yang mendapat kepercayaan
menjadi tuan rumah pesta olahraga sejagat itu, kemudian menjadi tuan rumah
bersama Jepang menyelenggarakan Piala Dunia, lalu disempurnakan dengan
terpilihnya orang Korsel menjadi Sekjen PBB.
Â
Kemajuan yang
gemilang itu diraih Korsel hanya dalam kurun waktu 40 tahun. Pada kurun waktu
yang sama, Indonesia dengan gemilang berhasil menghapus reputasi internasional
yang dahulu dibangun Soekarno. Kita juga berhasil menyulap sawah-sawah
produktif menjadi kota moderen, serta membuat dataran tinggi seperti kota
Bandung menjadi langganan banjir saban tahun.

Anyeong Haseyo
Merdeka!

Komentar

Postingan Populer